by

SP3 Dinilai Tidak Wajar, Kapolres Sanggau Dipraperadilkan

Sanggau, Media Kalbar

Kasus Kematian tak wajar yang menimpa Hendrikus Hendra alias Apin cukup menyita perhatian publik, kini kasusnya memasuki babak baru.

Oleh team Kuasa Hukum Annisa telah kasus tersebut dipraperadilkan di Pengadilan Negeri(PN) Sanggau, karena terbitnya Surat Perintah Penghentian Peyidikan(SP3) oleh Satreskrim Polres Sanggau diduga Cacat Hukum.

Atas permohonan praperadilan tersebut, sidang perdana digelar di Pengadilan Negeri (PN) Sanggau, pada Rabu (10/08/2022) lalu.

Pada Sidang yang dipimpin hakim tunggal Eliyas Eko Setyo, yang menjadi tergugat adalah Kapolres Sanggau.

Dalam sidang perdana yang mempraperadilankan Kapolres Sanggau ini, hakim menjadwalkan langsung setelah sidang pembacaan permohonan praperadilan dibacakan oleh kuasa hukum pemohon.

Kemudian sidang langsung dilanjutkan dengan agenda pembacaan tanggapan dari kuasa hukum tergugat dan dilanjutkan dengan pembacaan replik oleh kuasa hukum pemohon.

Sidang pembacaan permohonan praperadilan dimulai pukul 10.00 Wib setelah pembacaan selesai, sidang diskorsing hingga pukul 14.00 Wib.

Kuasa hukum Santi Anissa (adik kandung Apin. Red), Joni mengatakan, yang menjadi obyek permohonan praperadilan dalam hal ini adalah Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) nomor : SPPP/3/VI/2022/Reskrim tertanggal 06 Juni 2022 dan Surat Ketetapan Nomor: S.Tap/3/VI/2022/Reskrim tertanggal 6 Juni 2022 yang telah diterbitkan penyidik Satreskrim Polres Sanggau.

Menurut keterangan Joni, S.H selaku Kuasa Hukum Pemohon, Penghentian penyidikan yang dilakukan oleh termohon, yakni: Polres Sanggau dengan surat ketetapan nomor : S.Tap/3/VI/2022/Reskrim tersebut adalah sangat tidak wajar menurut hukum.

“Karena peristiwa yang dilaporkan oleh pemohon, Santi Annisa dengan laporan polisi nomor : LP.B / 287 / X / 2021 / SPKT.Kriminalitas / Polres Sanggau / Polda Kalbar tertanggal 21 Oktober 2021 adalah peristiwa meninggalnya secara tidak wajar seseorang bernama Hendrikus Hendra alias Apin di kediamannya, Desa Embala, Kecamatan Parindu, Kabupaten Sanggau,” papar Joni.

Dikatakan Joni, bahwa pada 19 Oktober 2021, kliennya Santi Anissa, diminta datang ke Polres Sanggau oleh penyidik untuk menandatangani surat permohonan otopsi terhadap jasad Hendrikus Hendra alias Apin.

Kemudian pada 25 Oktober 2021 telah dilakukan bedah mayat atau otopsi oleh ahli Forensik, dr. Monang Siahaan, akan tetapi sampai saat ini kliennya tidak mendapatkan salinan hasil otopsi tersebut.

“Kemudian keterangan mengenai penyebab kematian Hendrikus Hendra alias Apin yang diberikan oleh pihak kepolisian selalu berubah-ubah dan tidak disertakan dengan bukti yang jelas,” ungkap Joni.

Joni menjelaskan, bahwa Hendrikus Hendra alias Apin selama hidupnya tidak pernah mengalami sakit jantung yang rentan dengan kematian tiba-tiba atau kematian saat tidur, adapun dulunya, korban pernah sakit TBC tetapi sejak 2011 sudah dinyatakan tuntas dan sembuh dari TBC.

“Selama ini Hendrikus Hendra alias Apin tinggal bersama-sama dengan istri dan keempat orang anak-anaknya dan mereka tidak tertular penyakit TBC, sehingga sangat tidak masuk logika hukum jika korban disudutkan meninggal karena TBC,” jelasnya.

Lebih lanjut Joni mengatakan, bahwa penderita TBC tidak pernah mengalami kematian secara mendadak.

“Karena seorang penderita TBC tidak pernah mengalami kematian secara mendadak seperti yang dialami korban, Hendrikus Hendra Als Apin,”lanjut Joni.

Joni membeberkan, pada 21 Oktober 2021 terbit surat perintah penyidikkan nomor : SP-Sidik/67/X/2021/Reksrim, setelah itu terbit juga surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) nomor : SPDP/57/X/2021/Reskrim tertanggal 27 Oktober 2021.

Masih lanjut Joni, berdasarkan pasal 14 ayat 1 peraturan Kapolri nomor 6 tahun 2019 tentang penyidikan tindak pidana menerangkan, bahwa Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat 3 dikirimkan kepada penuntut umum, pelapor atau korban dan terlapor dalam waktu paling lambat tujuh hari setelah diterbitkan Surat Perintah penyidikan.

Dalam hal ini kliennya baru mendapatkan SPDP nomor : SPDP/57/X/2021/Reskrim tertanggal 27 Oktober 2021 tersebut pada hari Senin 11 Juli 2022.

“Dalam perkara yang dilaporkan oleh Santi Anissa ini, penyidikan yang dilakukan oleh Polres Sanggau dalam hal ini Satreskrim Polres Sanggau, akhirnya dilakukan penghentian penyidikan belum memenuhi syarat formil yang sah secara hukum karena waktu peristiwa meninggalnya Hendrikus Hendra Alias Apin, yaitu pada 12 Oktober 2021 sampai akhirnya penghentian penyidikan 6 Juni 2022 adalah waktu yang relatif sangat singkat dan belum kadaluarsa,” bebernya.

Joni mengatakan, penyidik menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) tertanggal 6 Juni 2022 dengan alasan peristiwa tersebut bukan tindak pidana dengan pertimbangan hanya berdasarkan rekomendasi hasil gelar perkara tanpa melalui proses penyelidikan ilmiah.

“Hal tersebut adalah alasan dan dasar hukum yang tidak benar karena bagaimana bisa suatu rekomendasi hasil gelar perkara dapat menentukan dugaan ada atau tidaknya tindak pidana dalam suatu peristiwa meninggalnya seseorang secara tidak wajar,” timpal Joni.

Bahwa ada alat bukti sah lainnya berdasarkan pasal 184 KUHAP, dijelaskannya, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, visum et repertum atau otopsi (alat bukti surat), dan Petunjuk (foto-foto, video dan rekaman CCTV), terlebih-lebih dalam peristiwa meninggalnya Hendrikus Hendra alias Apin ini terjadi proses pencairan dana asuransi Prudential sebesar Rp1,5 miliar.

“Berdasarkan fakta-fakta itu, seharusnya dapat didalami proses penyidikannya oleh penyidik Polres Sanggau dan atau penyidik Reskrimum Polda Kalimantan Barat. Dimana ahli forensik dr. Monang Siahaan, memberikan keterangan kepada wartawan bahwa saat melakukan otopsi terhadap jasad Hendrikus Hendra Als Apin ditemukan luka-luka kecil pada beberapa bagian tubuh korban, diantaranya luka di dahi dan luka lecet lebam pada bagian bibir bawah bagian dalam yang disebabkan adanya beban berat dari atas, kemudian melakukan pembedahan terhadap jenazah dan hasilnya ditemukan adanya pelebaran pembuluh darah di otak akibat kekurangan oksigen dan posisi jenazah telungkup mencium bantal,” terang Joni lagi.

Joni menjelaskan, menurut ahli forensik, dr. Monang Siahaan, ada keanehan dalam kematian Hendrikus Hendra alias Apin, yaitu yang menjadi penghalang oksigen masuk dari hidung dan mulut korban menuju ke paru-paru adalah bantal.

“Seharusnya korban merubah posisi tidurnya tetapi sampai pagi tidak merubah posisi tidurnya, dan dari semua yang diuraikan oleh ahli dr. Monang Siahaan, maka itu semua dapat menyebabkan hilangnya nyawa seseorang,” kata Joni.

Joni menyatakan, berdasarkan pernyataan ahli dr. Monang Siahaan, yang telah terpublikasi sebagaimana terebut di atas menunjukan benar, Hendrikus Hendra Als Apin meninggal secara tidak wajar.

Oleh karena itu melalui proses permohonan praperadilan ini dapat membuka kembali proses penyidikannya.

“Kami berharap melalui permohonan praperadilan ini, hakim menyatakan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dan surat ketetapan SP3 harus dibatalkan. Selanjutnya dilakukan secara maksimal dan secara ilmiah tindakan-tindakan lainnya yang belum dilakukan guna terungkapnya siapa pelakunya dan apa yang menjadi penyebab kematian Hendrikus Hendra Als Apin,” tegas Joni.

“Kami menilai jika penyidik Satreskrim Polres Sanggau terlalu tergesa-gesa dalam menerbitkan SP3 tersebut. Mengingat peristiwa tersebut berkaitan dengan hilangnya nyawa seseorang secara tidak wajar dan berdasarkan pernyataan ahli dr. Monang Siahaan, menunjukan kebenaran, jika Hendrikus Hendra Als Apin meninggal secara tidak wajar,” tutup Joni.

Sementara itu salah satu kuasa hukum tergugat, Pejabat sementara Bidang Hukum Polda Kalbar, Kompol Dwi Harjana dilansir dari AKSARALOKA.COM , ketika dikonfirmasi wartawan atas praperadilan tersebut menyatakan gugatan praperadilan yang diajukan kuasa hukum pemohon, Santi Anissa, hal itu merupakan sarana kontrol, tersangka, keluarga tersangka maupun pihak ketiga. Dan dilindungi dan diatur pasal 77 sampai pasal 83 KUHAP.

“Itu hak konstitusional,” jelas Kompol Dwi Harjani.

Kompol Dwi Harjana menegaskan, berkaitan dengan alasan permohonan pemohon melalui kuasa hukumnya untuk menyatakan penghentian penyidikan dibuka kembali, itu tentu harus diuji dalam sidang praperadilan.

“SP3 itu dilakukan berdasarkan tata cara menurut hukum. Diatur dalam pasal 109 ayat 2 KUHAP dan dilaksanakan dengan cara penyidikan tindak pidana dengan didukung ilmu pendukung lainnya, seperti menggunakan ahli, kedokteran forensik dan digital forensik,” tegas Kompol Dwi.

Menurut Dwi Harjana, semua barang bukti yang ditemukan di tempat kejadian dilakukan penyitaan menurut hukum. Kemudian apa yang disampaikan pemohon dan permohonan praperadilan masih bersifat asumsi.

“Meskipun keterangan forensik telah disampaikan melalui pers, tetapi masih ada hak jawab ketika yang disampaikan tidak benar,” tegasnya lagi.

“Pendapat ahli forensik itu sudah disambut dan dinyatakan secara tertulis di depan penyidik melalui berita acara pemeriksaan. Dan itu sebagai bukti ahli bahwa sudah dimintai pendapatnya,” sambung Dwi.

Lanjut Dwi, pemohon yang mengatakan gelar perkara bukan satu-satunya alasan dihentikannya penyidikan itu betul. Bahwa gelar perkara adalah kontrol terakhir terhadap apa yang sudah dilakukan dalam proses penyidikan yang diatur dalam KUHAP.

“Proses penyidik ini tidak main-main. Kami sudah menggunakan metode berbasis ilmiah. Dan mendapatkan alat bukti berupa keterangan saksi, keterangan ahli dan buktikan surat yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang,” tegansya lagi.

Dari ketiga alat bukti itu, Dwi menambahkan, tidak satupun, mengarah atau yang menunjukan adanya perbuatan pidana. Ketika tidak ada mengarah ke perbuatan pidana, maka juga tidak ada orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban suatu perbuatan pidana, karena pidananya tidak ada.

“Oleh karena itu kepada majelis hakim agar mempertimbangkan alasan-alasan yang disampaikan kuasa hukum termohon, dengan amar putusan menolak semua permohonan praperadilan pemohon untuk seluruhnya dan menyatakan bahwa SP3 itu sah menurut hukum dan tidak melimpahkan laporan pemohon ke Polda Kalbar karena memang penyidikan laporan pemohon sudah dihentikan,” pungkas Dwi.

Kasat Reskrim Polres Sanggau, AKP Sulastri, mengatakan, tidak mempermasalahkan permohonan praperadilan yang diajukan kuasa hukum pelapor, Sinta Anissa.

“Jika memang hakim dalam putusannya nanti menyatakan kasus dibuka kembali, pihaknya tentu akan melaksanakannya,” kata AKP Sulastri.

“Intinya semua barang bukti-bukti sudah dikumpulkan. Saksi-saksi sudah dimintai keterangan, namun memang kami belum menemukan bahwa korban dibunuh seperti yang disampaikan adanya luka tusuk dan dicekik. Itu tidak ditemukan,”tuntas Sulastri. (Vr/mk)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed