by

Bencana Tanda Tangan yang Merenggut Lebih dari 300 Nyawa

Oleh: Rosadi Jamani*

Sudah lebih 300 nyawa melayang. Data itu akan semakin bertambah. Berdosa rasanya bila kita tak mengalihkan perhatian tanah Sumatera yang sedang menangis. Simak narasinya, kita kupas soal “bencana tanda tangan” sambil seruput Koptagul, wak!

Pagi ini, tepat pukul 06.38 WIB, 30 November 2025, BNPB mengumumkan kengerian baru. Lebih dari 300 jiwa telah tewas, 279 orang masih hilang, dan puluhan ribu keluarga kini terdampar di tenda-tenda basah di Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh.

Sumut menanggung 166 tewas, 143 hilang, 67 luka-luka, lima ribu keluarga mengungsi di tengah reruntuhan dua ribu delapan ratus lima puluh satu rumah. Sumbar mencatat 90 tewas, 85 hilang, dua belas ribu jiwa terdampak, tiga ribu sembilan ratus keluarga kehilangan segalanya, dengan kerugian Rp6,53 miliar dan tiga ribu empat ratus lima puluh rumah hancur.
Aceh, dengan 44 tewas, 51 hilang, dan 4.846 keluarga mengungsi, masih bergulat dengan jalur nasional yang putus di Meureudu.

Total nasional: lebih 300 mati, 279 sembilan hilang, infrastruktur robek, jembatan runtuh, jalan terbelah, listrik padam, penyakit kulit menyerang seperti kutukan. Dari Istana, suara yang sama bergema, dingin seperti es di tengah api, “Belum darurat nasional. Kami monitor terus.”

Sementara itu, di atas kepala kita, satelit-satelit tak pernah berkedip. Global Forest Watch, NASA Landsat, Sentinel-2, dan Mongabay menyuarakan kebenaran yang tak bisa disembunyikan. Sejak 1985, 56 persen hutan alam Sumatera telah lenyap. Dari 25 juta hektare tinggal 11 juta hektar, 19 juta hektare hutan primer mati, digantikan sawit, tambang, dan HTI yang rakus.

Tesso Nilo, benteng gajah Sumatera yang dulu seluas seratus dua puluh ribu hektare, kini tinggal 38 ribu hektare utuh. Sisanya sawit ilegal yang ditanam perusahaan dengan pemilik berseliweran di kursi DPR. Batang Toru, rumah orangutan Tapanuli, citra satelit menangkap penebangan sistematis 2023–2025 oleh tujuh perusahaan HTI.

Tahun ini, Sumut kehilangan 8.090 hektare hutan alam, setara 5,91 juta ton CO₂ yang kini menjadi longsor dan banjir yang membunuh tiga ratus lebih jiwa.

Sembilan puluh tujuh persen deforestasi 2024–2025 terjadi di konsesi legal, 4.634 IUP tambang (9,1 juta hektare), 326.417 hektare HGU sawit, 5,67 juta hektare HTI, bukan perambahan liar, tapi pembantaian berizin.

Di langit, warna merah tua menggambarkan hutan yang kita bunuh 2000–2023. Merah muda adalah hutan yang roboh 2023–2025. Pink terang adalah hutan yang kita tebang tahun ini, tepat sebelum musim hujan yang membawa tiga ratus lebih mayat. Setiap titik merah adalah satu pohon yang berdiri seribu tahun, dicabut akarnya demi nikel, demi sawit, demi Rp268 triliun PNBP tambang yang tak pernah sampai ke tanggul Sibolga.

Pemerintah bergerak, katanya. Empat pesawat Hercules mendarat dengan logistik. Starlink menyala di posko. Alat berat menggali longsor. Status darurat daerah empat belas hari di tiga provinsi. Modifikasi cuaca, dapur umum, trauma healing, semua ada, tapi semua itu cuma kain tipis di luka tembak yang berdarah.

Sekarang, kita harus paham perbedaan yang mengubah segalanya. “Bencana alam” adalah kisah lama yang kita terima pasrah, takdir Tuhan, doa di masjid, lalu dilupain. “Bencana tanda tangan” adalah teriakan baru yang membakar hati. Ini ulah manusia, ini tanda tangan pejabat, ini nama-nama yang bisa dilacak, diadili, diusut. “Bencana alam” menutup mata dari empat ribu enam ratus tiga puluh empat pena yang meneken kematian hutan.

“Bencana tanda tangan” membuka mata kita pada fakta, ada lebih 300nyawa hilang bukan karena hujan, tapi karena izin yang diberi stempel “legal”. Tiga ratus lebih nyawa sudah jadi faktur yang tak bisa ditawar. Satelit sudah jadi saksi mata dari angkasa, merekam setiap pohon yang jatuh, setiap lereng yang longsor.

Rakyat tak lagi mau dengar “monitor terus”. Sekarang giliran pena-pena itu yang harus gemetar. Karena kalau satu tanda tangan baru lagi tercoret, maka gelondongan kayu berikutnya akan tahu alamat rumah mereka. Kali ini, kayu-kayu itu akan datang bersama tiga ratus lebih arwah yang namanya terukir di batang-batang yang mereka tebang.

Sumatera belum selesai bicara.
Kita belum selesai menagih.

*Rosadi Jamani, Ketua Satupena Kalbar

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed