PONTIANAK, Media Kalbar
Gubernur Kalimantan Barat (Kalbar) periode 2018-2023, Sutarmidji didapuk menjadi salah satu narasumber Seminar Nasional Apvokasi bertajuk Arah Kebijakan Pendidikan Vokasi di Masa Pemerintahan Mendatang yang digelar di Balai Petitih, Kantor Gubernur, Kamis (26/9).
Selain Sutarmidji, seminar yang digelar DPW Apvokasi Kalbar bersama Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalbar itu juga menghadirkan Ketua Umum Apvokasi, Marsudi Wahyu Kisworo, sebagai narasumber. Yakni sorang akademisi berlatar belakang entrepreneur, yang juga dikenal sebagai professor pertama bidang IT di Indonesia.
Dalam kesempatan itu, Sutarmidji menyampaikan, selama ini masih banyak aturan yang tidak sejalan antara pemerintah pusat, dengan daerah terkait dengan pendidikan vokasi. Hal itu bahkan sudah ia rasakan semenjak menjabat sebagai wakil wali kota, kemudian wali kota dua periode, sampai menjabat gubernur. “Jadi banyak aturan di kementerian yang justru mempersulit kita (pemerintah daerah) untuk mengembangkan pendidikan vokasi ini,” ungkapnya.
Midji-sapaan karibnya, lantas menceritakan beberapa pengalaman yang pernah dialaminya ketika menjabat sebagai wali kota Pontianak dulu. Pertama tentang pembangunan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) pelayaran di Kota Pontianak. Menurut Midji, latarbelakang dibangunnya SMK tersebut karena dirinya sempat membaca artikel bahwa banyak perusahaan pelayaran di negara-negara Eropa tutup. Tutupnya perusahaan tersebut dikarenakan kurangnnya tenaga kerja bidang pelayaran.
Kondisi tersebut, dianggapnya sebagai peluang. Dengan harapan, anak-anak dari Kota Pontianak bisa berkarir di luar negeri atau di perusahaan-perusahaan pelayaran internasional. Namuan untuk sampai ke sana, para lulusan SMK pelayaran itu, tentu harus masuk ke Akademi Pelayaran yang berada di bawah naungan Kementerian Perhubungan.
“Saya bangun SMK pelayaran, SMK 9 (Pontianak) itu, begitu (pelajar) tamat, orang tuanya melaporkan saya ke Polda. Kenapa? Karena anaknya tidak bisa masuk akademi pelayaran, (untuk masuk lulusan SMK) harus memenuhi 15 approval dulu baru bisa masuk Akademi Pelayaran, itu sampai jenggotnya putih pun tidak bisa saya bilang,” ceritanya.
Terkait masalah itu, Midji sempat menyampaikan protes ke Kementerian Perhubungan. Namun tetap tidak ada solusi. Malah lucunya, lulusan SMK pelayaran disarankan oleh orang kementerian mengambil paket c agar setara dengan lulusan SMA, baru kemudian bisa mendaftar ke Akademi Pelayaran. Dari situ, Midji merasa bingung. Lulusan SMK pelayaran yang jelas-jelas belajar, dan menimba ilmu tentang pelayaran justru dipersulit, dibandingn para lulusan SMA biasa. “Masa mereka sudah lulus (dengan ilmu) mengarah ke sana (pelayaran), malah diminta paket c, itu tidak beres,” tegasnya.
Aturan-aturan yang demikian, menurutnya yang menghambat daerah dalam pengembangan pendidikan vokasi. “Belum lagi praktik (SMK Pelayaran) saya maunya supaya anak itu disiplin praktik di Kapal Angkatan Laut (AL), tidak boleh, harus kapal niaga. Kapal niaga di Pontianak waktu itu tidak ada yang besar-besar, tidak memenuhi syarat lagi, tidak memenuhi spesifikasi yang ditentukan. Akhirnya itu (jadi) masalah, sampai hari ini masih, dan ini harus kita selesaikan,” paparnya.
Contoh lainnya soal kebijakan yang tidak sinkron, juga ia temukan dari keberadaan Balai Latihan Kerja (BLK) yang berada di bawah naungan Kementerian Ketenagakerjaan. Dibanding membangun fasilitas sendiri untuk BLK, Midji menilai, justru lebih baik jika kementerian membantu melengkapi sarana, prasarana di SMK yang sudah ada. Seperti membangun workshop, dan pengadaan alat-alat praktik yang mutakhir.
Keberadaan SMK yang representatif, justru akan memiliki dampak yang lebih besar. Selain meningkatkan kemampuan para pelajar di SMK tersebut, fasilitas yang ada juga bisa dimanfaatkan untuk pendidikan non formal. Seperti pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan di luar jam pelajaran sekolah. “Makanya saya maunya BLK itu dihilangkan, dijadikan pusat sertifikasi keahlian, di situlah mereka disertifikasi. Ada pusat sertifikasi daerah yang sertifikatnya berlaku untuk pekerjaan di dalam negeri, lalu ada pusat sertifikasi nasional, nantinya yang untuk berkerja di luar negeri,” sarannya.
Midji juga sebelumnya menjadi salah satu gubernur yang menantang keras, wacana lamanya sekolah di SMK yang akan ditambah menjadi empat tahun. Menurut pemikirannya, waktu belajar di SMK justru harus dipersingkat. Semisal haya dua tahun, dengan satu tahun teori, lalu tahun berikutnya paraktik, dan magang. Atau paling maksimal tiga tahun, dua tahun teori, dan satu tahun praktik. Tempat praktik, atau magannya juga harus langsung di dunia kerja, seperti ke pemerintahan, atau perusahaan-perusahaan.
“Magang tapi harus dibayar, paksa itu perusahaan-perusahaan, jangan tidak dipaksa, apalagi di kantor-kantor pemerintahan itu kasihan anak-anak magang. Bahkan seharusnya dia magang di sini (pemerintahan) dia dibayar, ini minum pun kadang susah, kenapa? Kita (pemerintah) mau bayar tapi aturannya tidak ada, kalau kita bayar nanti BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) periksa suruh kembalikan. Coba dilindungi, pemerintah (pusat) buat aturan, anak magang harus dibayar sesuai UMR, ini kan tidak ada aturannya,” paparnya.
Ia juga mendorong dilakukan revitalisasi program-program studi di SMK, yang disesuaikan dengan kebutuhan di daerah masing-masing. Sehingga lulusan SMK harus bisa menjawab kebutuhan tenaga kerja, minimal di daerah tempat SMK tersebut berada. “Kita (Kalbar) kan banyak perkebunan sawit, tapi adakah (SMK)!yang jurusan itu, tidak ada. Bauksit kemarin (smelter) diresmikan Presiden Jokowi, tidak ada (SMK) jurusan itu (pertambangan), jadi memang revitalisasi penting,” tegasnya.
Selama menjadi kepala daerah, Midji memang dikenal getol memperjuangkan pendidikan vokasi di daerah ini. Sampai-sampai DPW Apvokasi Kalbar sendiri menganggap Midji sebagai pemerhati pendidikan vokasi di Kalbar. Pria yang kini kembali mencalonkan diri sebagai gubernur itu, selalu berusaha sesuai dengan kewenangan dalam jabatannya, memperhatikan lulusan-lulusan sekolah vokasi.
Seperti ketika masih menjabat sebagai wali kota Pontianak, ia membuat peraturan daerah (perda) yang memberikan diskon tarif Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk hotel-hotel yang baru dibangun, hingga sebesar 75 persen. Asal, syaratnya ketika sudah beroperasi, hotel-hotel tersebut harus menggunakan tenaga kerja lokal lulusan SMK. Minimal 85 persen dari total tenaga kerja di hotel tersebut harus lulusan SMK Perhotelan di Kota Pontianak. Kala itu kewenangan SMK memang masih berada di bawah pemerintah kabupaten/kota.
“Akhirnya semuanya (hotel) itu, mereka (pelajar SMK) kelas dua sudah dipesan. Kita juga buat hotel untuk latihan mereka. Ketika menginap di hotel bintang empat Jakarta misalnya, saya selalu tanya kepada housekeeping, satu orang bisa bersihkan kamar satu hari berapa kamar, rata-rata 17 kamar. Di SMK kita, saya minta bagaimana anak-anak bisa di atas 17 (kamar per hari), bisa 17 sampai 19, artinya kita unggul, bisa berkompetisi,” terangnya.
Tak hanya sampai di situ, untuk pendidikan vokasi, Midji berusaha membuat program studi, yang sekaligus dapat mencarikan lapangan kerja yang tidak putus. Contoh ketika melihat data bahwa di Kota Pontianak bangunan yang ber-IMB jumlahnya tidak sampai 60 persen. Ia kemudian membuat SMK yang memiliki program studi desain grafis.
Sebagai wali kota, ia kembali membuat aturan yang pro lulusan program studi tersebut. Yakni mengeluarkan kebijakan pemutihan IMB untuk sekitar 40 persen bangunan yang terlanjur tidak memiliki IMB. Dengan syarat tak perlu melampirkan gambar bangunan secara detail, melainkan cukup sketsa saja. Dan itu tak perlu dikerjakan arsitek, melainkan cukup dikerjakan oleh lulusan SMK program studi desain grafis.
“Tapi gambarnya harus dari anak-anak ini (SMK) tamatan (desain grafis). Kalau satu gambar itu dia dapat misalnya Rp750 ribu, sekarang orang mau usaha kalau agunkan ke bank, aset propertinya harus ada IMB. Kami (pemkot) pemutihan dibuat gratis, tapi gambarnya yang akan bayar, (dibuat) dengan mereka-mereka (lulusan SMK). Bayangkan perkerjaan mereka itu tidak (akan putus) selesai, sampai umur pensiun pun,” jelasnya.
Meski sempat ada masukan dari pejabat terkait, bahwa kebijakan pemutihan IMB itu akan mengurangi pendapatan daerah, Midji justru berpikir lebih ke depan. Bahwa dengan kebijakan itu, maka dapat mengurangi angka pengangguran di Kota Pontianak. “Coba maindset penyelenggara negara (jangan seperti) itu, kalau sudah bicara pendapatan tidak mikir, pokoknya pendapatan harus masuk. Kita harus berpikir manfaat yang lebih luas,” pungkasnya.
Seperti diketahui seminar nasional yang ketiga kalinya diadakan DPW Apvokasi Kalbar itu melibatkan stakeholder vokasi, serta keikutsertaan peserta nasional melalui tautan Zoom. (*/mk)
Comment