Mempawah, Media Kalbar
Proyek penggantian jembatan di ruas Jalan Daeng Manambon, Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat, kembali menjadi sorotan publik. Seorang warga dilaporkan tewas tertimpa pohon palem di sekitar lokasi proyek pada Sabtu (23/8). Pohon tersebut diduga ditumbangkan operator eksavator yang bekerja di area proyek.
Peristiwa ini memunculkan pertanyaan besar mengenai penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi (SMKK) di proyek tersebut. Pasalnya, kontrak kerja konstruksi seharusnya mengacu pada regulasi yang berlaku, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2021 dan Permen PUPR Nomor 10 Tahun 2021 tentang Pedoman SMKK. Aturan tersebut merupakan tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi dan UU Cipta Kerja, yang menegaskan pentingnya penerapan keselamatan kerja di bidang konstruksi.
Dalam ketentuan resmi, biaya penerapan SMKK/K3 dalam proyek konstruksi berkisar 1,50% hingga 2,50% dari nilai kontrak. Angka tersebut dinilai cukup besar untuk memastikan keamanan pekerja maupun masyarakat sekitar. Namun, fakta di lapangan menunjukkan lemahnya penerapan aspek keselamatan. Lokasi proyek yang dekat dengan aktivitas warga tidak dilengkapi dengan rambu peringatan, safety line, maupun pengawasan ketat dari konsultan pengawas.
Masyarakat mempertanyakan transparansi pihak Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) Kalbar dalam memilih penyedia jasa konstruksi. Menurut informasi di lapangan, terdapat dugaan kelalaian pekerja sekaligus adanya indikasi penyedia jasa yang dipilih tidak memiliki kelayakan penuh. Bahkan, penyedia jasa yang sama disebut juga mengerjakan proyek jembatan Pontianak – Sungai Pinyuh, sehingga menimbulkan kesan adanya monopoli proyek karena kedekatan dengan pejabat tertentu di BPJN Kalbar.
Masyarakat mendesak aparat penegak hukum agar segera melakukan penyelidikan. Termasuk mengidentifikasi kelengkapan izin kegiatan, izin alat berat, sertifikat operator, serta kepatuhan terhadap standar K3. Jika ditemukan adanya kelalaian atau pelanggaran aturan, pihak penyedia jasa maupun pihak terkait di BPJN harus bertanggung jawab.
Selain itu, publik meminta Kementerian PUPR, melalui Inspektorat Jenderal, BPK RI, hingga Kejaksaan RI, untuk mengaudit proses pemilihan penyedia jasa. Tujuannya memastikan bahwa setiap tahapan pekerjaan berjalan sesuai SOP dan penerapan K3 yang ideal.
Apabila benar proyek telah menerapkan aturan secara konsisten, masyarakat tentu dapat menerima musibah tersebut sebagai kecelakaan kerja murni. Namun jika sebaliknya, maka peristiwa ini bisa menjadi bukti nyata lemahnya pengawasan dan dugaan penyalahgunaan kewenangan dalam proyek infrastruktur strategis di Kalimantan Barat. (*/MK)











Comment