PONTIANAK — Pernyataan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengenai rencana penghentian Pokok-Pokok Pikiran (Pokir) DPRD menuai sorotan. Pengamat kebijakan publik, Dr. Herman Hofi Munawar, menegaskan bahwa sikap tersebut berpotensi menyalahi aturan perundang-undangan.
Menurut Herman, Pokir DPRD justru merupakan perintah langsung dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya dalam Pasal 29, 104, 108, dan 161. Aturan ini juga diperkuat dengan PP Nomor 12 Tahun 2018 serta Permendagri Nomor 86 Tahun 2017.
“Pokir DPRD bukanlah barang haram, melainkan amanat undang-undang. Justru jika dihapus, itu akan mengabaikan mekanisme demokratis yang telah diatur secara jelas dalam regulasi,” ungkapnya.
Apa Itu Pokir DPRD?
Pokir DPRD sejatinya adalah wadah penyaluran aspirasi masyarakat yang dikumpulkan oleh anggota dewan melalui berbagai mekanisme, seperti:
Reses
Kunjungan anggota DPRD ke daerah pemilihannya untuk mendengar langsung suara masyarakat.
Sosialisasi kegiatan
Menyampaikan informasi sekaligus menyerap masukan publik.
Pertemuan resmi
Dialog dengan kelompok masyarakat atau organisasi terkait isu pembangunan.
Aspirasi tersebut kemudian dirumuskan menjadi Pokir yang bersifat strategis dan terintegrasi. Pokir selanjutnya menjadi bahan penting dalam penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD).
Pentingnya Pokir untuk Pembangunan Daerah
Herman menegaskan bahwa keberadaan Pokir sangat krusial karena berfungsi sebagai jembatan antara masyarakat dan pemerintah daerah.
“Pokir memastikan bahwa setiap program dan proyek pembangunan yang dijalankan pemerintah daerah benar-benar sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat dan sejalan dengan visi-misi daerah. Tanpa Pokir, pembangunan bisa melenceng dari aspirasi warga,” jelasnya.
Herman Hofi menekankan bahwa persoalan Pokir tidak boleh dipandang negatif. Yang perlu dijaga adalah transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaannya agar benar-benar sesuai regulasi. (*/Amad)











Comment