Oleh: Mustafa*
Menjelang pemungutan suara pemilihan kepala daerah (pilkada). Pemilih harus cerdas, kritis dan rasional. Rasional dalam arti dengan melihat track record, integritas dan kualitas pasangan calon kepala daerah. Hal ini penting upaya memberikan pendidikan politik berdemokrasi serta terjaminnya tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih.
Saat ini kandidat calon pemimpin kepala daerah sedang gencar-gencarnya mensosialisasikan visi, misi dan program atau dengan kata lain upaya untuk memengaruhi proses pengambilan keputusan para pemilih. Namun, kalau dicermati para kontestasi kandidat cukup menarik untuk ditelisik. Jargon, poster, baliho maupun spanduk yang terpampang sepanjang jalan, secara visual esensinya menyiratkan adanya unsur pemikat yang dikemas secara menarik. Tetapi komunikasi visual itu belum mampu membangun kepercayaan daya kritis warga (pemilih). Jadi pemilih sudah cerdas dan rasional dalam menyalurkan aspirasi politiknya.
Saya tidak kaget kalau ada warga mengatakan akan golput pada pilkada tahun 2024 nanti. Sikap warga tersebut adalah manusiawi dan patut dihargai sikap politiknya, boleh jadi sikap mereka tersebut merupakan bentuk protes ataupun kecewa terhadap janji pembangunan insfrastrutur maupun layanan publik.
Memang, janji politik saat kampanye adalah sebuah aksi politik yang sehat untuk membangun demokrasi. Namun, sejauh ini belum ada wadah ataupun mekanisme yang baku tentang bagaimana warga mengetahui progresivitas janji politik saat berkampanye, untuk menagih janji jika pasangan calon kepala daerah yang terpilih.
Sebagaimana dimaklumi bahwa, janji politik bukanlah janji dalam konteks hukum perdata. Janji politik dalam hukum perdata biasanya dituangkan dalam kontrak, dimana satu pihak berjanji untuk melakukan sesuatu dan pihak lain menerima janji. Namun harus ada komunikasi antara kedua belah pihak yang dijanjikan, dengan pihak lain yang menerima janji dan akan merealisasikan. Dengan demikian jika terjadi janji politik diingkari tidak bisa dikategorikan wanprestasi dalam hukum perdata.
Upaya hukum yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan wanprestasi yakni; klaim ganti rugi dan pembatalan kontrak. Jadi, pengingkaran janji politik tidak bisa dihukum secara perdata. Satu-satunya jalan untuk menghukum para politisi apabila ingkar janji adalah dengan tidak memilihnya, baik pada pemilu maupun pilkada. Rohaniwan Franz Magnis-Suseno, dalam artikelnya mengatakan: “Dalam pemilu/pilkada, kita sesungguhnya tidak memilih yang terbaik, tetapi memastikan yang terburuk tidak terpilih dan berkuasa.”
Jika ingin terpilih setidaknya dapat memberikan manfaat secara realistis dan bukti nyata kepada warga (pemilih) bukan hanya janji. Kalau pasangan calon pemimpin kepala daerah terpilih nanti, harus memastikan janji politik tersebut tertuang dalam dokumen perencanaan pembangunan daerah.
Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tetang Sistem Perencanaan Pembangunan. Janji-janji politik bisa menjadi komponen dalam Pembahasan Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Daerah yang dirancang ketika menjabat selama lima tahun.
Hal ini sejalan dengan Pasal 71 Permendagri Nomor 86 Tahun 2017 tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian, dan Evaluasi Pembangunan Daerah dan Pasal 1 Ayat 12 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan, pemerintah daerah berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Agar masyarakat tidak kecewa dengan janji politik kampanye pada setiap perhelatan pilkada. Maka pada pilkada tahun 2024 ini warga (pemilih) tidak boleh dijadikan objek yang diperdaya oleh para politisi dalam setiap janji politik. Sebagai pemilih cerdas, harus dipastikan apa yang diucapkan calon pemimpin kepala daerah adalah sesuatu yang rasional dan realistis untuk dijewantahkan dalam pemerintahan.
Mengutip pendapat Sivan Frenkel (2014) mengatakan “Untuk mengukur kemampuan kandidat dalam merealisasikan janjinya, kita harus cermat dalam melihat rekam jejak kandidat kepala daerah. Misalnya, rekam jejak pada profesi sebelumnya maupun catatan hukum para kandidat”.
Oleh karena itu, pemilih harus menempatkan diri sebagai subjek atau pihak yang punya posisi tawar. Dalam membangun posisi tawar itu, calon pemimpin kepala daerah wajib memahami apa yang menjadi kebutuhan dalam kehidupan bernegara, serta melaksanakan visi, misi dan program selama menjabat sebagai kepala pemerintahan.
Acara debat kandidat atau pidato-pidato politik kandidat calon kepala daerah saat kampanye patut kita dengar dan baca. Informasi track record dan integritas calon pemimpin kepala daerah harus dicermati untuk melihat koherensi antara fakta emperis dan argumentasi yang disampaikan oleh masing-masing pasangan calon pemimpin kepala daerah.
Karena dari sinilah informasi visi, misi dan program yang disampaikan pasangan calon pemimpin kepala daerah, selanjutnya warga (pemilih) akan menilai, mengkaji kemudian dipikirkan kembali sebelum menjatuhkan pilihan kepada pasangan calon pemimpin kepala daerah. Dengan demikian berakhirlah perhelatan pilkada tanpa dusta. Wallahua’lam bish-shawab. (*)
*Penulis Sekretaris DPD Forum Komunitas Orang Bugis Kota Pontianak dan Bidang Pendidikan Forum Pembauran Kebangsaan (FPK) Kota Pontianak.
Comment