Oleh: Mustafa
Ada satu kalimat yang kerap terdengar dari bibir jamaah setelah pulang dari Tanah Suci: “Umrah itu bukan sekadar perjalanan fisik, melainkan perjalanan hati.” Kalimat itu sederhana, tetapi memuat getaran yang sulit dijelaskan. Sebab Umrah tidak berhenti pada hitungan kilometer atau biaya tiket pesawat. Ia hadir sebagai pengalaman batin yang membekas seumur hidup. Kita bisa merencanakan jadwal keberangkatan, memesan hotel, bahkan menuliskan daftar belanja oleh-oleh. Namun, tidak ada satu pun catatan perjalanan yang mampu menandingi detik pertama ketika mata menatap Ka’bah dan hati tiba-tiba diliputi rasa haru yang tak terbendung.
Rasulullah SAW pernah bersabda: “Umrah ke Umrah berikutnya adalah penghapus dosa di antara keduanya, dan haji mabrur tidak ada balasannya kecuali surga” (HR. Bukhari & Muslim). Hadis ini memberikan isyarat bahwa Umrah bukan sekadar ibadah tambahan yang dilakukan bila ada waktu luang atau uang berlebih. Ia adalah kesempatan besar untuk membersihkan diri dari beban dosa, menata ulang arah hidup, dan menemukan kembali inti ketundukan seorang hamba di hadapan Tuhannya.
Al-Qur’an sendiri memberikan perintah jelas: “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah…” (QS. Al-Baqarah: 196). Ayat singkat ini mengandung kedalaman makna. Umrah bukan sekadar perjalanan geografis menuju Mekkah, tetapi sebuah panggilan hati yang harus disempurnakan dengan keikhlasan. Imam Ibnul Qayyim dalam Zaad al-Ma’ad menulis: “Umrah adalah ibadah yang menyatukan tubuh, harta, dan hati. Ia melatih kesabaran, menumbuhkan kerendahan diri, dan mendekatkan seorang hamba kepada Allah.” Dari pandangan ini kita belajar, Umrah adalah ibadah totalitas: tubuh menempuh perjalanan, harta dikeluarkan sebagai pengorbanan, dan hati ditundukkan sepenuhnya kepada Allah.
Rangkaian Umrah itu sendiri penuh simbol spiritual. Ihram, dua helai kain putih tanpa jahitan, seketika mencopot segala identitas duniawi. Tidak ada lagi jas pejabat, seragam tentara, atau pakaian bermerek. Semua orang sama. Yang tersisa hanyalah tubuh manusia yang rapuh dan hati yang dipaksa untuk rendah. Saat mengenakan ihram, seseorang seakan diingatkan bahwa kelak ia akan meninggalkan dunia dalam balutan kain kafan, sama tanpa harta, pangkat, dan gelar. Ego pun runtuh, kesombongan pun mencair.
Kemudian ada tawaf, berjalan mengelilingi Ka’bah tujuh kali. Gerakan melingkar ini mengingatkan bahwa kehidupan sejatinya berporos pada Allah, bukan pada ego atau materi. Hati dilatih untuk terus mengorbit di sekeliling cinta-Nya. Saat berdesakan di antara lautan manusia, kita belajar arti kesabaran. Tidak ada yang istimewa, semua jamaah merasakan letih yang sama, keringat yang sama, doa yang sama. Ada jamaah tua yang bertahan dengan kursi roda, ada ibu yang menggendong anak sambil menangis haru, ada yang tak mampu menahan air mata saat menyentuh Multazam. Di momen itu, tawaf tidak lagi sekadar langkah kaki, tetapi tarian spiritual yang menautkan hati kepada Sang Pencipta.
Sa’i, berlari kecil antara Shafa dan Marwah, adalah peringatan abadi tentang perjuangan seorang ibu, Hajar. Ia berlari bolak-balik, berharap menemukan setetes air bagi putranya, Ismail. Tidak ada yang istimewa dari lari itu kecuali keyakinan. Dan justru dari keyakinan itulah Allah memancarkan sumur Zamzam, air yang hingga kini tak pernah kering. Dari sini, hati belajar bahwa doa dan usaha tidak pernah sia-sia. Sa’i bukan sekadar ritual, tetapi metafora tentang hidup: berlari, jatuh, bangkit, dan berharap.
Akhirnya, tahallul—memotong atau mencukur rambut—menjadi simbol pelepasan kesombongan. Rambut yang selama ini dirawat, ditata, dan menjadi kebanggaan dipotong habis sebagai tanda penyerahan diri. Rambut akan tumbuh kembali, tetapi hati yang telah dilembutkan di Tanah Suci diharapkan tetap terjaga.
Tidak heran jika seorang ulama pernah mengingatkan: “Barang siapa pulang dari Umrah tanpa membawa perubahan hati, maka ia hanya sekadar melancong.” Kata-kata itu terdengar keras, tapi nyata. Banyak orang berangkat Umrah, pulang dengan koper penuh belanjaan, tapi lupa membawa pulang ketenangan hati. Banyak yang lebih sibuk mengabadikan momen dengan kamera daripada mengabadikan momen dengan doa. Padahal nilai sejati Umrah bukan pada foto yang bisa diunggah di media sosial, melainkan pada perubahan diri yang bisa dirasakan orang lain.
Umrah adalah cermin kecil dari kehidupan. Di sana kita belajar bersabar dalam keramaian, belajar ikhlas mengorbankan waktu dan harta, belajar setara dalam balutan ihram, dan belajar taat mengikuti tuntunan Rasulullah . Beliau bersabda: “Ambillah dariku tata cara manasik kalian” (HR. Muslim). Pesan ini jelas: ibadah Umrah hanya bermakna bila dijalani sesuai sunnah, bukan sekadar mengikuti arus.
Doa paling populer yang dibaca saat tawaf adalah firman Allah: “Rabbanaa aatinaa fid-dunyaa hasanah, wa fil-aakhirati hasanah, wa qinaa ‘adzaaban-naar” (QS. Al-Baqarah: 201). Doa ini sederhana, tetapi luas maknanya. Ia menegaskan keseimbangan: mohon dunia yang baik tanpa melupakan akhirat. Dunia dengan kesehatan, keluarga yang harmonis, pekerjaan yang halal. Akhirat dengan keselamatan dari siksa. Betapa doa ini seharusnya menjadi pegangan, tidak hanya saat tawaf, tetapi juga setelah kita kembali ke rumah, bekerja, dan berinteraksi sehari-hari.
Umrah sejatinya adalah perjalanan hati. Ia bukan sekadar ritual seremonial yang berhenti di Tanah Suci, tetapi momentum untuk mengatur ulang hidup. Setiap langkah di Masjidil Haram, setiap keringat saat Sa’i, dan setiap helai rambut yang terpotong saat tahallul seharusnya meninggalkan bekas yang dalam. Jika Umrah hanya berakhir pada foto-foto indah dan cerita perjalanan tanpa perubahan sikap, maka kita kehilangan inti dari perjalanan ini. Tetapi bila hati menjadi lebih lembut, ibadah lebih terjaga, dan sikap lebih rendah hati, maka itulah tanda Umrah berhasil menjadi reset button dalam hidup seorang muslim.
Kita mungkin tidak tahu kapan kesempatan Umrah datang kembali. Tetapi bagi mereka yang pernah mencicipinya, satu kali saja sudah cukup untuk merasakan bahwa Allah begitu dekat, begitu nyata, begitu penuh kasih. Umrah bukan sekadar tiket pesawat, visa, atau antrean panjang di imigrasi. Ia adalah panggilan hati. Dan setiap panggilan itu, bila dijawab dengan ikhlas, akan mengubah hidup seseorang selamanya.
Semoga kita semua diberi kesempatan untuk menjadi tamu Allah di Baitullah. Bukan hanya untuk melihat Ka’bah, tetapi untuk benar-benar menghadirkan Ka’bah di dalam hati kita. Sebab Ka’bah hanyalah bangunan batu, tetapi yang membuatnya agung adalah hati yang menunduk di hadapannya. Dan hati yang sudah menunduk, insya Allah, akan tetap tertambat pada Sang Pemilik Ka’bah, meski jasad kita jauh darinya. Semoga. (*)
*Penulis adalah Guru MAN 2 Pontianak.











Comment