by

Warga Papua Mulai Berani Menolak Perusahaan Sawit

Oleh: Rosadi Jamani *

Apa reaksi warga Papua saat tahu pulaunya mau disawitkan oleh Prabowo? Ternyata, mereka mulai berani menolak keberadaan perusahaan sawit. Simak narasinya sambil seruput Kopi Senang khas Sorong, tentu tanpa gula, pace!

Papua itu seperti perpustakaan terakhir umat manusia yang rak-raknya masih utuh, bukunya belum dibakar, dan penjaganya masih bernapas bersama hutan. Sayangnya, negara datang bukan membawa kartu anggota perpustakaan, melainkan gergaji mesin. Tanah adat yang hutan tropisnya berdiri gagah, menyimpan sejarah ribuan tahun dan ekosistem yang rumit, kini diperlakukan seperti halaman belakang rumah kontrakan, kalau sempit, ya ditebang saja.

Presiden Prabowo menyatakan, Papua akan ditanami sawit demi mengurangi impor BBM. Kalimatnya terdengar patriotik, nyaris heroik. Padahal di balik retorika itu, hutan Papua seluas sekitar 33,8 juta hektare, menurut Forest Watch Indonesia 2023, sedang disodorkan ke meja investor seperti menu makan siang. Mau digoreng, dibakar, atau dijadikan biodiesel. Negara menyebutnya transisi energi. Alam menyebutnya pemakaman dini.

Film ini sebenarnya sudah pernah kita tonton di Kalimantan dan Sumatra. Judulnya sama, hanya lokasi syuting yang pindah. Sawit datang membawa janji kesejahteraan, lalu pergi meninggalkan deforestasi, banjir, konflik agraria, dan lanskap yang mirip kulit kepala botak. Kini film itu diputar ulang di Papua, dengan aktor baru tapi naskah lama. Negara menyebutnya pembangunan. Masyarakat adat menyebutnya penggusuran pelan-pelan yang dibungkus rapi dengan kata “nasional”.

Yang menarik, masyarakat adat Papua tidak lagi berperan sebagai figuran pasif. Mereka mulai berani berdiri di depan layar. Di Papua Selatan, Suku Awyu di Boven Digoel menolak perusahaan seperti PT Indo Asiana Lestari yang mengancam puluhan ribu hektare hutan adat. Hendrikus “Franky” Woro bahkan menggugat izin lingkungan hingga Mahkamah Agung, karena bagi mereka sawit bukan sekadar tanaman, melainkan ancaman terhadap sumber hidup dan identitas budaya.

Di Sorong Selatan, Suku Tehit bersama sub-suku Mlaqya, Gemna, Afsya, Nakna, dan Yaben menolak perusahaan sawit yang masuk tanpa konsultasi dan tanpa persetujuan adat yang bebas, didahulukan, dan diinformasikan.

Di Teluk Bintuni, marga Ateta dari Suku Sumuri membubarkan rapat AMDAL demi menyelamatkan hutan adat terakhir mereka. Di Papua Barat Daya, Suku Moi menanam bambu “Tui” sebagai tanda larangan adat terhadap proyek sawit skala besar yang berlabel Proyek Strategis Nasional. Di Boven Digoel, Marga Amotey dari Suku Mandobo menolak konsesi PT Papua Berkat Pangan seluas lebih dari 34 ribu hektare. Bahkan Distrik Segun di Sorong sejak awal sudah satu suara menolak sawit dan justru menyambut pencabutan izin oleh bupati setempat.

Ini bukan gerakan kecil yang emosional. Ini gelombang kesadaran. Yayasan Pusaka Bentala Rakyat mencatat sedikitnya 94 perusahaan sawit telah beroperasi di Papua, membuka lebih dari 1,33 juta hektare hutan dan memicu konflik agraria serta perampasan tanah adat. Sawit Watch mencatat secara nasional ada 1.126 konflik sawit yang melibatkan 385 perusahaan, dan Papua disebut-sebut sebagai pusat konflik baru karena hak ulayat di sana masih hidup dan tidak mudah ditundukkan. Secara ekologis, kapasitas ideal lahan sawit di Papua hanya sekitar 290 ribu hektare, dan itu pun sudah nyaris tercapai, dengan lebih dari 75 ribu hektare berada di kawasan sensitif seperti hutan primer dan habitat satwa endemik.

Nama-nama perusahaan yang ditolak pun bukan nama asing. PT Indo Asiana Lestari dan PT Sorong Sejahtera Abadi sudah seperti legenda urban dalam dunia konsesi. Audit izin sawit Papua Barat 2021–2022 menemukan 24 dari 31 izin bermasalah, banyak diterbitkan tanpa koordinasi dengan pemerintah daerah. Tak heran jika sejak 2018 hingga 2021, 12 sampai 16 izin sawit akhirnya dicabut akibat pelanggaran dan tekanan masyarakat. Ketika konflik meledak, pemda sering dituding mendukung sawit, padahal kenyataannya mereka lebih mirip satpam yang dimarahi karena pesta yang bahkan tidak mereka rencanakan.

Negara tetap menjual logika besarnya. Sawit disebut solusi energi alternatif. Biodiesel disebut masa depan. Padahal secara ilmiah, jejak karbon biodiesel sawit justru lebih tinggi dibandingkan hutan tropis yang dibiarkan utuh. Artinya sederhana dan ironis, kita menebang paru-paru dunia demi bahan bakar yang katanya ramah lingkungan. Ini bukan sekadar ironi, ini sudah satire kosmik.

Konspirasinya terlalu rapi untuk dianggap kebetulan. Pusat mengeluarkan izin, perusahaan masuk dengan senyum brosur, daerah kebingungan, masyarakat adat marah, aparat turun, media menulis “Papua tidak kondusif”. Negara lalu muncul sebagai narator penutup, semua ini demi pembangunan. Tirai ditutup. Opera sabun selesai.

Di titik ini, hukum negara tampak lebih mesra dengan sawit ketimbang dengan adat. Justru hukum adat Papua berdiri sebagai benteng terakhir akal sehat, mengingatkan bahwa hutan bukan sekadar komoditas, tanah bukan barang diskon, dan manusia bukan efek samping pembangunan. Jika negara sibuk menghitung barel biodiesel, biarlah masyarakat adat menjaga nadi kehidupan Papua.

Bagi pembaca yang masih berharap keadilan turun dari langit birokrasi, bersiaplah kecewa. Proyek sawit ini bukan sekadar kebijakan, melainkan drama panjang konspirasi administratif: pusat berkuasa, daerah kebingungan, perusahaan tersenyum, masyarakat adat menjerit. Selamat datang di panggung “Sawit Papua: Biodiesel, Birokrasi, dan Bencana,” sebuah pertunjukan di mana hutan menjadi korban, dan kata pembangunan dipakai sebagai tirai penutup rasa bersalah. (*)

*Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed