Oleh: Jacob Ereste
Politik itu memang bukan hanya masalah untuk membidik kekuasaan, tapi konsentrasinya bisa disebut full untuk kekuasaan. Selebihnya hanya sampiran pemanis belaka. Begitulah bar-barian dari politik yang abai pada etika, moral bahkan akhlak yang tidak difungsikan untuk memuluskan tujuan guna menggamit kekuasaan.
Karena itu, politik bisa dilahami memang dominan pula dianggap licik. Karena acap mengabaikan budaya dan etika. Bahkan sekedar untuk bertata krama saja, cenderung untuk dipolitisir pula. Maka itu, budaya “bajing loncat” pun marak dalam budaya politik — atau bahkan dianggap hal yang biasa. Tidak dianggap pamali untuk dilakukan dalam budaya politik entah di negeri mana saja. Apalagi di Indonesia — yang konon masih perlu belajar sampai mentok ikhwal demokrasi — karena masih menjadi semacam “barang baru” di begeri “gotong rotong” ini. Karena itu, setiap orang mulai memahami budaya politik suatu kaum atau suatu bangsa dapat dijadikan penakar dari budaya suatu kaum itu atau dari peradaban bangsa yang bersangkutan.
Dalam budaya ekonomi, adagium untuk menggaruk keuntungan yang segede-gedenya dengan modal sekecil mungkin — bila perlu tidak mengeluarjan modal sedikit pun — dianggap akan lebih baik. Begitulah kodrat dan iradatnya politik yang — seakan-akan boleh dan sah — abai pada budaya dan etika — bahkan moral — sehingga birahi untuk melakukan kudeta, khianat, ingkar janji — bahkan tipu daya — menjadi bagian dari faksun politik yang dihalalkan.
Oleh karena itu tak perlu heran jika janji-janji politik tinggal janji — bukan sekedar ingin ditunda atau dipiuhkan — namun hendak dijungkir balikkan agar bisa menjadi penjerat yang mengikat untuk kerja bakti berikutnya yang serba gratisan. Alias tidak pernah akan ditepati. Ya, beginilah realitas dari budaya demokrasi yang belum matang. Banyak hal masih acap diselesaikan dengan uang.
Jadi, istilah janji tinggal janji itu pun bukan cuma dalam urusan percintaan kawula muda seperti yang riuh dinyanyikan itu. Tetapi janji politik justru tidak kalah keji hingga menyakitkan bila sempat tersengat oleh kelakuan mereka yang culas dan degil seperti itu. Dan biasanya, janji-janji itu akan diumbar ke mana-mana dan dimana-mana saat menjelang pesta demoksasi — Pilkada, Pemilu bahkan saat mau pemilihan kepala desa atau Ketua Umum partai politik itu sendiri yang memang sah untuk direbut dengan cara apapun. Penyebab utamanya karena etika dan budaya — bahkan tatanan moral atau akhlak — tak mendapat tempat di relung hati nurani mereka yang culas.
Meski begitu, toh permohonan restu pun diminta tanpa maly-malu kepada semua sigmen maupun elemen masyarakat untuk perilaku bejat mereka yang tidak yang memiliki etika dan moral bahkan akhlak itu, tanpa merasa berdosa atau pun beban dan pengkhianatan yang dilakukan.(*)
Comment