Pontianak, Media Kalbar
Proses hukum seorang terdakwa kembali terhambat setelah Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Perempuan Kelas IIA Pontianak yang berlokasi di Kabupaten Kubu Raya, secara tegas menolak melaksanakan surat perintah pengalihan penahanan yang sah.
“Penolakan ini diyakini telah mengabaikan perintah Majelis Hakim Tipikor dan Kejaksaan Negeri Ketapang, serta menimbulkan dugaan maladministrasi dan penyalahgunaan wewenang yang merugikan hak-hak terdakwa.” ungkap Dr. Herman Hofi Munawar yang merupakan pengamat dan praktisi Hukum Kalbar melalui siaran persnya, Jumat (13/6).
Dijelaskan bahwa Situasi bermula ketika seorang terdakwa yang perkaranya ditangani oleh Kejaksaan Negeri Ketapang berdasarkan surat penetapan majelis hakim tipikor terdakwa dialihkan status penahanannya dari Lapas Perempuan Pontianak, menjadi tahanan Kota mengingat yang bersangkutan sedang menghadapi penyakit jiwa (ODGJ) Untuk tujuan tersebut, dua dokumen hukum yang sangat krusial telah diterbitkan.
“Surat Penetapan Pengalihan Penahanan dari Majelis Hakim Ini merupakan perintah langsung dari Pengadilan yang menangani perkara, mengikat dan wajib dilaksanakan oleh semua pihak terkait dalam sistem peradilan.” ujarnya.
Diterangkan lebih lanjut bahwa Surat dari BA-15 ( Berita Acara Pelaksanaan Penetapan Hakim) dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Ketapang Surat ini menguatkan perintah pengalihan penahanan sesuai penetapan hakim, dan bahkan JPU telah koordinasi dengan pihak lapas.
“Namun, di luar kepatutan dan prosedur, Kepala Lapas Perempuan Pontianak melalui stafnya, menolak untuk melaksanakan perintah pengalihan penahanan tersebut. Berkenaan dengan hal tersebut Pihak PH terdakwa meminta surat penolakan dari Kalapas juga tidak mau.” Tandasnya.
Pihak Lapas bersikeras mengharuskan kehadiran fisik Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam proses penyerahan tahanan.
“Surat penetapan pengalihan dari Majelis Hakim sudah ada, surat dari JPU juga sudah disampaikan ke Lapas. Tapi staf Lapas mengatakan Kepala Lapas tidak mau mengalihkan kalau JPU tidak hadir langsung,” jelas sumber tersebut.
Tindakan Kepala Lapas yang sangat kaku dan diduga melanggar beberapa prinsip dasar hukum dan prosedur operasional standar penegakan hukum
Kepatuhan Terhadap Putusan/Penetapan Hakim Berdasarkan Pasal 279 KUHAP, setiap perintah pengadilan atau penetapan hakim harus dilaksanakan. Penolakan ini menunjukkan ketidakpatuhan terhadap perintah Yudikatif.
Tidak Memiliki Diskresi Menolak Perintah Lapas sebagai bagian dari sistem penegakan hukum eksekutif di bawah Kementerian Imipas, tidak memiliki diskresi untuk menolak perintah pengadilan atau Kejaksaan yang telah sesuai prosedur dan dasar hukum. Tuntutan kehadiran fisik JPU tanpa dasar hukum yang jelas untuk proses pengalihan penahanan, terlebih dengan adanya surat resmi, adalah tindakan yang mempersulit dan bisa dikategorikan penyalahgunaan wewenang.
Kepala Lapas Perempuan tetap berfikir kaku harus tuntutan kehadiran fisik JPU juga tidak realistis mengingat jarak geografis antara Ketapang, lokasi Kejaksaan yang menangani perkara, dan Kabupaten Kubu Raya, lokasi Lapas Perempuan. Seharusnya, koordinasi antarlembaga dapat dilakukan secara administratif dengan dasar surat-surat resmi, bukan dengan tuntutan kehadiran fisik yang membuang waktu dan sumber daya.
Sikap Kalapas ini Penundaan atau penolakan pengalihan penahanan tanpa alasan yang sah menghambat hak terdakwa untuk mendapatkan perlakuan hukum yang semestinya dan kelancaran proses peradilan. “Kami minta agar kepala lapas perempuan pontianak dievaluasi kembali.” Tegas Herman Hofi Munawar
“Kami apresiasi sikap koordinatif Kejaksaan Tinggi Kalbar serta PN Tipikor yang menangani perkara ini. Kawan-kawan dari Kejaksaan Tinggi telah memberikan penjelasan langsung pada pihak lapas perempuan namun tetap dengan sikap kaku kepala lapas.” Ujarnya lagi.
Disamaikan Dr. Herman bahwa Insiden ini juga memperkuat dugaan adanya maladministrasi serius di tubuh Lapas Perempuan Pontianak. “Oleh karena itu, diperlukan evaluasi mendesak terhadap Kepala Lapas dan jajarannya oleh Kantor Wilayah Ditjen PAS Kalimantan Barat, Inspektorat Jenderal Kementerian Hukum dan HAM RI, dan Ombudsman Republik Indonesia. Evaluasi ini penting untuk memastikan kepatuhan terhadap hukum, meningkatkan profesionalisme pelayanan publik, dan mencegah terulangnya praktik yang menghambat proses hukum dan merugikan hak-hak masyarakat.” Pungkasnya. (Amad)
Comment