JAKARTA, Media Kalbar
Dalam minggu awal September tahun ini, keluarga besar PWI sangat terpukul atas berita penangkapan Upa Labuhari (UL), seorang advokat DKI Jakarta oleh jajaran Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bengkulu. UL digelandang dari Jakarta ke kota Bengkulu. UL, selain berprofesi advokat, juga wartawan, anggota PWI DKI Jaya. Dalam data keanggotaan di Sekretariat PWI Pusat, UL memegang kartu tanda anggota biasa (KTA-B) nomor 09.00.1497.78 dengan status seumur hidup.
Sebagaimana peraturan organisasi atau Peraturan Rumah Tangga (PRT) Bab III PWI Pasal 9 ayat (4), bagi wartawan yang telah berusia di atas 60 tahun diberi KTA-B Seumur Hidup.
Penangkapan UL sama sekali tidak terkait dengan profesinya sebagai wartawan anggota PWI. Dalam kasus ini, UL menjalankan profesinya sebagai advokat terkait kasus korupsi dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) Puskesmas di Kabupaten Kaur.
“UL ditahan pada Senin, 4 September 2023 oleh Kejati Bengkulu karena diduga telah menghalang-halangi penyidikan,” kata Kasi Penyidikan Pidsus Kejati Bengkulu. Penangkapan UL dipimpin langsung Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Bengkulu, Victor Antonius.
Pada saat proses penggelandangan ke Bengkulu, diduga UL menutupi kepalanya dengan menggunakan jaket berlogo PWI, sempat melontarkan perkataan bahwa dia juga seorang wartawan, pemegang Press Card Number One (PCNO)– Kartu Pers Nomor Satu PWI.
Atas peristiwa penangkapan UL tersebut, Ketua Umum (Ketum) PWI Pusat, Atal S Depari merasa prihatin, kecewa, sekaligus mengecam kasus ini terjadi.
“Sebagai anggota kami di PWI, tentu saya sangat prihatin, kecewa dan mengecam hal ini terjadi, namun demikian, saya juga tetap menghormati proses hukum di Indonesia,” jelas Atal S Depari. (10/9)
Selain ungkapan kekecewaan Ketum PWI Pusat, Sekretaris Jenderal PWI Pusat, Mirza Zulhadi, berjanji untuk sementara belum dapat menjatuhkan sanksi apapun terhadap UL selaku anggota PWI. Sikap PWI Pusat menunggu proses hukum hingga berkekuatan tetap (inkracht).
“Putusan rapat pleno Pengurus Pusat PWI pada Sabtu, 9 September 2023, agar kasus ini tidak dikait-kaitkan dengan organisasi PWI, maka untuk sementara menon-aktifkan UL sebagai wartawan anggota PWI, ” jelas Mirza Zulhadi, Minggu (10/9).
Dikatakannya, selama ini, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) selalu mendukung bahkan mendorong anggotanya untuk berkarya atau berprestasi di lembaga-lembaga negara, seperti pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Penyiaran Indonesia di tingkat pusat dan daerah (KPI-KPID), Komisi Informasi (KI), Komnas HAM, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Lembaga Sensor Film (LSF), sepanjang tidak bertentangan dengan status dan fungsinya sebagai wartawan dengan menjunjung tinggi integritas profesinyanya.
“Dukungan PWI tersebut, semata-mata untuk memberi kesempatan kepada anggotanya dalam menjalankan fungsi profesi kewartawanan pada lembaga-lembaga negara yang digelutinya. Sekaligus dapat menegakkan prinsip-prinsip kemerdekaan pers yang profesional dan bermartabat,” tegas Mirza.
Sementara, lanjutnya, profesi wartawan dan profesi advokat adalah dua profesi yang satu sama lain harus digeluti secara profesional. Keduanya pun memiliki kode etik profesi. Dalam menjalankan tugas, bagi yang berprofesi wartawan, senantiasa berpegang teguh kepada Kode Etik Jurnalistik dan peraturan organisasinya. Sedangkan bagi seorang yang berprofesi advokat, biasa dikenal sebagai Pengacara atau konsultan hukum, juga memiliki kode etik advokat dan peraturan organisasinya. Seorang wartawan dan advokat, satu sama lain diharuskan mematuhi prinsip-prinsip integritas, independensi, dan kerahasiaan dalam menjalankan tugasnya. (*/amad)
Comment