Sambas, Media Kalbar – Aroma busuk mafia tanah kembali menyeruak di Kabupaten Sambas. Dugaan pemalsuan tanda tangan pada surat tanah seluas 10 hektar di Desa Buduk Sempadang, Kecamatan Selakau Tua, kini menjadi sorotan publik. Pihak keluarga almarhum Kepala Desa yang disebut-sebut menandatangani dokumen tersebut dengan tegas menyatakan keberatan. Lebih dari itu, mereka siap menjadi saksi bila kasus ini masuk ke ranah hukum.
Sanusi, menantu dari almarhum U. Hamdan Nayin yang pernah menjabat Kepala Desa Buduk Sempadang, menyatakan keterkejutannya ketika mengetahui nama mertuanya tercantum sebagai pihak yang menandatangani surat tanah bertanggal 1993. Padahal, fakta tak terbantahkan: almarhum wafat pada 16 Januari 1991.
“Ini betul-betul di luar nalar. Mertua saya meninggal tahun 1991, bagaimana mungkin bisa tanda tangan di tahun 1993? Kalau bukan dipalsukan, lalu apa? Jangan-jangan orang mati bisa hidup lagi hanya untuk tanda tangan,” sindir Sanusi saat ditemui di kediamannya, Selasa (15/7/2025).
Pihak keluarga menyebutkan, sebelumnya tidak pernah ada informasi atau pemberitahuan terkait keberadaan surat tanah tersebut. Mereka bahkan mengaku baru mengetahui kabar ini setelah ada pihak yang menanyakan tahun kematian almarhum beberapa hari lalu.
“Setelah kami cek, ternyata ada surat tanah dengan tanda tangan mertua saya. Tentu kami keberatan. Ini bentuk pemalsuan terang-terangan. Kami sudah klarifikasi ke pihak desa, dan jika ini tak kunjung selesai, kami siap menempuh jalur hukum,” tegas Sanusi.
Tak hanya keluarga, kalangan mahasiswa hukum di Sambas juga menyoroti perkara ini. Ketua Umum Dewan Eksekutif Mahasiswa Hukum Sambas, Luffi Ariadi, menyebut kasus ini sebagai pelanggaran serius yang tak bisa dibiarkan begitu saja.
“Ini bukan lagi sekadar kelalaian administratif, tetapi indikasi kuat adanya mafia tanah yang bermain dengan memanfaatkan kelemahan verifikasi dokumen di tingkat desa. Jika benar surat itu ditandatangani setelah kepala desa meninggal, itu jelas pelanggaran hukum berat,” kata Luffi.
Ia menambahkan, praktik pemalsuan ini bisa dijerat dengan Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat. Dalam pasal tersebut, siapa pun yang dengan sengaja membuat surat palsu atau memalsukan surat dengan maksud untuk digunakan seolah-olah asli, diancam pidana penjara paling lama enam tahun.
“Kami mendesak aparat penegak hukum segera turun tangan. Jangan sampai keadilan tertutup oleh permainan kotor para mafia tanah. Apalagi korban adalah keluarga yang bahkan tak tahu-menahu terkait dokumen itu,” imbuh Luffi dengan nada geram.
Keluarga korban pun menegaskan kesiapannya untuk menjadi saksi di hadapan aparat penegak hukum. Mereka berharap penyelidikan segera dilakukan agar terang siapa aktor di balik dugaan pemalsuan ini.
“Kami tak takut. Kami siap menjadi saksi. Jangan anggap sepele pemalsuan ini, karena ini bukan sekadar soal tanah, tapi soal martabat keluarga dan hukum di negeri ini,” pungkas Sanusi.
Kasus ini menjadi alarm keras bagi pemerintah desa dan aparat hukum untuk lebih serius mengawasi praktik mafia tanah yang kian nekat. Apalagi jika tanda tangan orang mati saja bisa dimanfaatkan, lalu apalagi yang tidak mungkin dilakukan oleh para mafia? (Rai)











Comment