Surabaya, Media Kalbar
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang baru akan segera berlaku pada 2 Januari 2026. Oleh karena itu, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru harus disahkan sebelum 1 Januari 2026, dan harus berorientasi pada asas Due Process of Law, yang memberi perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).
Hal tersebut disampaikan Wakil Menteri Hukum (Wamenkum), Edward O.S. Hiariej saat bertindak sebagai keynote speaker pada kegiatan Seminar Nasional RKUHP dan Masa Depan Hukum Pidana, yang diselenggarakan oleh Universitas Airlangga.
Lebih lanjut Wamenkum menjelaskan alasan mengapa harus disahkan sebelum KUHP baru berlaku, menurutnya kalau KUHP baru sudah berlaku dan KUHAP tidak dirubah, maka Polisi, Jaksa, Hakim yang akan melakukan penahanan, akan kehilangan legitimasi dalam proses penahanan tersebut. KUHAP yang berlaku saat ini, dalam pasal 21 menyaratkan sebagai syarat objektif.
“Tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam pasal-pasal berikut dalam KUHP itu bisa dilakukan penahanan. Nah pasal-pasal itu semua sudah dirubah dengan KUHP yang baru, jadi akan kehilangan legitimasi bila melakukan penahanan,” ujar Wamenkum yang sering disapa Eddy di Surabaya, Jumat (14/03/2025).
Perubahan paradigma hukum pidana yang tidak lagi berorientasi pada keadilan retributif, tetapi berorientasi pada korektif, restoratif, dan rehabilitatif mengharuskan perubahan pada KUHAP.
“Mau tidak mau, suka tidak suka, kita harus melakukan perubahan cukup mendasar terhadap KUHAP,” terang Eddy.
Lebih lanjut Wamenkum menceritakan, pada hari Rabu, 5 Maret 2025 yang lalu, Bapak Presiden RI Prabowo Subianto menerima surat dari Ketua DPR akan Rancangan KUHP (RKUHAP), dan dirinya baru menerima surat tersebut dua hari yang lalu. Terdapat 334 pasal dalam RKUHP, ada tambahan 50 pasal dari KUHAP yang lama.
“Semalam saya baru baca sampai pasal 41, baru 10% lebih sedikit, mudah-mudahan dalam dua-tiga hari ke depan saya selesai membacanya,” ujar Wakil dari Menteri Hukum Supratman Andi Agtas.
Menurut Wamenkum, dalam RKUHAP masih menggunakan sistematika KUHAP lama, ada beberapa hal baru yang ditambahkan, meskipun lebih 50% tetapi materinya masih model lama.
“Kalau saya lihat sekilas, ini jelas bukan perubahan, kita harus mengganti KUHAP yang lama,” terang Eddy.
KUHAP yang lama, lanjut Wamenkum, tidak berorientasi pada due process of law, jika ditimbang antara dua nilai dalam sistem peradilan pidana, maka timbangan itu akan lebih berat pada crime control model, itu yang terlihat pada KUHAP saat ini, yang mengutamakan kecepatan dalam beracara, mengutamakan kuantitas, dsb. Dan ini tentunya jauh dari due process of law.
“Bahkan Saya selalu mengatakan, bahwa Ketika orang berdebat lalu mengatakan KUHAP kita itu memberikan perlindungan HAM, kemudian ia merujuk pada due process of law, saya katakan tidak demikian, karena kita tahu ciri-ciri dari crime control model maupun due process of law yang kita pelajari di bangku kuliah itu tidak terlihat dari KUHAP yang sudah berusia lebih 40 tahun ini,” tandasnya.
Wamenkum mengatakan, oleh karena itu, kita harus melakukan perubahan paradigma terhadap KUHAP yang akan dibahas dan akan disahkan di tahun 2025 ini.
“Kita harus melakukan perubahan-perubahan mendasar, yang kemudian ia akan berorientasi pada due process of law yang memberi perlindungan terhadap HAM,” ucapnya.
Hal penting selanjutnya, melihat KUHAP sebagai ius constituendum atau hukum yang berlaku di masa depan, berulang kali dirinya selalu mengatakan, bahwa semua yang mengajar hukum acara pidana harus memberikan pemahaman pada mahasiswa, bahwa filosofis hukum acara pidana sama sekali bukan untuk memproses orang yang melakukan tindak pidana, tetapi filosofis hukum acara pidana adalah untuk melindungi individu dari kesewenang-wenangan aparat penegakan hukum.
“Itu yang harus kita pahami Bersama itu dulu (filosofis hukum acara pidana adalah untuk melindungi individu dari kesewenang-wenangan aparat penegak hukum). KUHAP kita tidak berorientasi pada itu, ia lebih mengedepankan teori crime control model, dan KUHAP yang disusun pada tahun 1979 – 1981 itu menggunakan apa yang kita sebut dengan istilah pasticipant approach, ia dibentuk, disusun dengan sudut pandang kacamata aparat penegak hukum,” tandas Eddy.
Menurut Wamenkum, pada KUHAP yang berlaku saat ini, banyak sekali ketentuan yang merupakan kewajiban, tetapi tidak ada sanksi apabila kewajiban itu dilanggar, kemudian tidak ada satu pasal pun yang tertulis terkait asas praduga tidak bersalah. Asas praduga tidak bersalah hanya ada di penjelasan umum huruf 3 poin c.
“Karena kita berangkat dari filosofis hukum acara pidana adalah untuk melindungi individu dari kesewenang-wenangan negara, maka sudah barang tentu ada prinsip-prinsip dalam hukum acara pidana itu seperti: Hukum acara pidana harus tertulis; Hukum acara pidana itu harus jelas; dan Hukum acara pidana itu harus ketat,” tutur Eddy.
“Kita harus berangkat dulu dari filosofisnya, baru kita bangun yang merujuk pada due process of law,” tambah Eddy.
Turut hadir mendampingi Wamenkum pada kegiatan tersebut, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum Jawa Timur (Kanwil Kemenkum Jatim) Haris Sukamto, dan Kepala Divisi Peraturan Perundang-Undangan dan Pembinaan Hukum Kanwil Kemenkum Jatim, Titik Setiawati. (*/mk)
Comment