Oleh: Rosadi Jamani*
Lama tak bahas politik. “Salok juak,” kata orang Sambas. Sepertinya ada yang menarik untuk menemani kopi ni. Soal KPK yang sudah berkoar-koar sampai ke planet Mars soal Hasto. Giliran didatangi Hasto, kok biasa saja. Yok kita bahas drama nasional ini.
Hasto Kristiyanto. Nama yang kini menggema di lorong-lorong gedung KPK, bak soundtrack melodrama politik yang tak kunjung usai. Sekjen DPP PDIP ini melenggang masuk ke sarang anti-korupsi untuk diperiksa atas dugaan suap dan obstruction of justice. Setelah 3,5 jam yang mungkin terasa seperti seabad bagi kita rakyat biasa, Hasto keluar dengan wajah semringah. Senyum lebar, seolah baru saja memenangkan penghargaan di Festival Film Politik Nasional.
Kabar angin pun berhembus kencang. Bukan angin yang di Los Angeles ya, wak. Kabar angin ini seperti rumor gosip tetangga yang beredar di arisan RT. Katanya, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri sempat menelepon Prabowo Subianto. Apa isi teleponnya? Siapa yang tahu? Namun, Ketua Harian Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, langsung banting setir membantah dengan gaya seorang tokoh utama sinetron yang dituduh selingkuh. “Tidak ada hubungannya dengan Pak Prabowo atau Gerindra,” tegas Dasco, mungkin sambil melirik kamera, memastikan momen dramatis ini terekam dengan baik.
“Proses hukum adalah urusan aparat penegak hukum,” tambah Dasco, seolah mengingatkan kita bahwa hukum itu suci, murni, dan sama sekali tidak bisa diganggu gugat. Kecuali, mungkin oleh tangan tak terlihat yang sudah terlalu sering kita dengar dalam cerita-cerita seperti ini.
Hasto? Ketika keluar dari gedung KPK, dia seperti aktor utama yang baru saja menyelesaikan adegan klimaks. Mengenakan kemeja hitam, dengan senyum yang tak lekang oleh waktu, dia menyapa para simpatisan yang menyambutnya dengan pekik “Merdeka!”. Merdeka dari apa? Dari tanggung jawab? Dari pertanyaan wartawan yang terus mengejar? Hasto memilih diam, seperti seorang pahlawan misterius yang menunggu waktu untuk mengungkap rahasia besar.
Pengacara Hasto, Maqdir Ismail, lalu mengambil peran sebagai narator. “Pak Hasto diperiksa untuk dua perkara,” katanya dengan nada datar. Seolah dua perkara ini hanyalah menu pembuka dalam pesta besar. Suap dan perintangan penyidikan. Ah, hanya itu? Detailnya? Oh, tentu saja, rahasia. “Kami sudah sepakat dengan penyidik untuk tidak mengungkap materi pemeriksaan ke publik,” tambah Maqdir. Transparansi? Itu barang antik, teman-teman.
Namun, jangan lupa bumbu utama cerita ini, Harun Masiku. Nama yang begitu legendaris hingga sepertinya layak diabadikan dalam mitos modern. Dalam kasus ini, Hasto memainkan peran sutradara film thriller, mengarahkan saksi, memberi perintah untuk merendam ponsel dalam air (plot twist yang jenius, bukan?), dan memastikan semua jejak menghilang seperti ilusi magis.
Lalu, ada uang suap Rp600 juta. Jumlah yang bagi sebagian dari kita cukup untuk membeli rumah atau, setidaknya, melunasi cicilan. Tapi di dunia politik, itu hanyalah uang saku. Tujuannya? Membuka jalan bagi Harun Masiku ke kursi DPR melalui proses PAW. Oh, betapa mahalnya sebuah kursi.
Momen epik pun tiba. Hasto meninggalkan gedung KPK dengan bus berwarna merah putih, lambang nasionalisme sejati. Diiringi simpatisan yang meneriakkan semangat perjuangan dengan lantang, adegan ini nyaris seperti puncak film perang, tanpa perang, tentu saja. Tapi perjuangan untuk apa? Untuk keadilan? Untuk kebebasan? Untuk tetap tersenyum di tengah badai skandal?
Beginilah kisah politik kita. Penuh drama, penuh ironi, penuh kejutan yang, entah bagaimana, selalu berhasil membuat kita tertawa getir. Episode ini mungkin sudah selesai, tapi jangan khawatir, teman-teman. Masih banyak babak lain menanti. Siapkan kopi, karena sinetron ini masih panjang. Selamat menikmati!
#camanewak
*Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
Comment