Oleh: Rasadi Jamani*
Saya tu paling suka mengangkat perempuan tangguh. Di balik keanggunannya, menyimpan kekuatan dahsyat. Kali ini saya mau mengangkat sosok Nohran, ups salah, Tia Rahmania maksudnya. Sambil seruput kopi liberika di teras rumah, yok kita kupas sosok wanita yang tiba-tiba muncul bawa palu godam.
Kalau hidup adalah sinetron, maka Tia Rahmania adalah tokoh utama yang difitnah, ditampar 18 kali, dikurung di gudang berbulan-bulan, lalu keluar dengan gaun merah menyala sambil berkata, “Ini Belum Selesai!” Benar saja, belum selesai.
Bayangkan ini, wak! Seorang perempuan, anggota partai politik, menang suara terbanyak, dielu-elukan konstituen, tapi… boom! Ia dipecat. Bukan karena ketahuan korupsi, bukan karena nyolong sendal jemaah pengajian, tapi karena dituduh menggelembungkan 1.629 suara. Itu cuma 4,3% dari total 37.359 suara sah yang dia kantongi. Kalau itu dianggap penggelembungan, maka mie instan dengan tambahan telur juga bisa dianggap kejahatan dapur berat.
Tia tidak tinggal diam. Dia tidak memilih menangis di pojokan sambil mendengarkan lagu Lyodra Ginting. Dia tidak update story Instagram dengan quotes bijak dan bunga layu. Dia menggugat! Yes, menggugat Mahkamah PDI-P dan Bonnie Triyana, sang pengganti dadakan yang entah kenapa langsung dapat kursi seperti rebutan bangku di pesta ulang tahun anak TK.
Hasilnya? Booom…! Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan Tia tidak bersalah. Tidak ada penggelembungan. Tidak ada trik sulap suara. Tidak ada bakpao diselipkan ke dalam kotak suara.
Putusan resmi menyatakan Tia pemilik sah 37.359 suara berdasarkan Formulir D Hasil Pleno KPU. Bukan cuma emak-emak yang yakin suara mereka ke Tia. Negara pun akhirnya mengakuinya. Kalau itu bukan kemenangan, apa lagi?
Tapi tunggu dulu, cerita belum habis. Karena sebelum PN Jakarta Pusat angkat palu, Mahkamah PDI-P sudah lebih dulu main palu, palu yang dipinjam entah dari mana, lalu dipukulkan ke karier politik Tia. Langsung dipecat, dibatalkan pelantikannya, diganti dengan Bonnie yang awalnya runner-up tapi jadi champion by disqualifikasi. Keren banget kan twist-nya? Netflix harus beli hak tayang drama ini.
DPP PDI-P bahkan menuding dia langgar kode etik. Padahal, kode etik macam apa yang bilang “Kalau kamu menang terlalu banyak, kamu pasti curang”? Ini logika semacam: “Kalau kamu cakep banget, pasti pakai filter.”
Tia adalah lambang perempuan tangguh yang ditolak sistem, tapi menolak ditolak. Dalam sejarah perpolitikan yang penuh tikungan tajam dan lobang jebakan tikus, dia tidak hanya selamat, tapi malah kembali dengan bendera kemenangan.
Mungkin Bonnie sekarang sedang memandangi jendela sambil bertanya, “Kenapa bukan aku?” Tapi jawabannya jelas, karena kebenaran itu seperti kentut, tak bisa ditahan terlalu lama. Suatu saat pasti terdengar dan tercium.
Mari kita angkat topi, helm, atau apa pun yang bisa diangkat untuk Tia Rahmania. Seorang perempuan yang dihantam, dijegal, difitnah, tapi tetap bangkit. Bukan dengan air mata, tapi dengan gugatan hukum dan kemenangan elegan.
Di negara di mana suara rakyat kadang dianggap hanya angka, Tia telah membuktikan bahwa satu suara, suara kebenaran, bisa mengalahkan ribuan suara penuh drama.
Tia, kau bukan hanya menang perkara. Kau menang hati kami semua. Kepada mereka yang mengira bisa menjatuhkan perempuan hanya dengan surat pemecatan… well, selamat datang di era perempuan tangguh bawa berkas gugatan.
Tia bukan korban. Tia adalah ikon perlawanan bersarung blazer merah dan heels 7 cm.
Kami semua berdiri di belakangmu (dengan kopi panas tanpa gula, tentu saja).
*Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
Comment