by

Staf Ahli Gubernur Malah Membacakan Tulisan Saya

Oleh: Rosadi Jamani

Ini cerita saya saja, boleh di-skip. Namun, sebelumnya mari sejenak kita berbelasungkawa atas korban “bencana tanda tangan” di Pulau Sumatera sudah mencapai 770 jiwa. Alfatehah untuk seluruh korban. Siapkan Koptagul, simak cerita ini.

Saya sudah sering jadi pembicara, jadi narasumber, jadi penyusun argumen dan penggedor logika. Tapi apa yang terjadi di Pendopo Rumah Dinas Gubernur Kalbar, Rabu (3/12/2025)? Di sana, di bawah langit Khatulistiwa yang teduh, saya hadir sebagai narasumber membahas nasib historis RM Margono, kakek Prabowo, layak tidaknya menjadi Pahlawan Nasional.

Diselenggarakan oleh SMSI Kalbar, acara ini harum dengan aroma intelektualitas, bahkan kursi-kursinya pun terasa seperti ingin ikut berdiskusi. Di sebelah saya ada Syafaruddin Usman, sang penjinak arsip sejarah, yang suaranya berlapis waktu. Di sisi lain ada Sekjen SMSI Pusat, Makali Kumar, ahli membaca roh regulasi pengusulan pahlawan. Di tengah mereka… saya, yang datang hanya membawa tulisan, opini, dan keberanian bersuara.

Lalu, tibalah momen itu.

Drs. Alexander Rombonang, Staf Ahli Gubernur Kalbar bidang Sosial dan Sumber Daya Manusia, naik ke mimbar. Semua hadirin duduk dengan sopan, karena begitulah budaya kita kalau pejabat bicara. Ia mulai berpidato dengan formal yang tepat, wibawa yang terukur, dan struktur kalimat yang dijinakkan oleh protokol. Saya mendengar, saya mengangguk, saya santai.

Sampai datang sebuah tikungan takdir.

Tanpa aba-aba, beliau tiba-tiba membacakan tulisan saya yang saya upload di Tiktok dan FB. Kata demi kata, kalimat demi kalimat, beliau bacakan. Tulisan yang berjudul “Layakkah Kakek Prabowo Menjadi Pahlawan Nasional?” keluar dari bibirnya seperti mantra politik yang dibaptis ulang dengan aksen pemerintahan. Saya yang duduk di kursi VIP langsung merasakan semacam getaran, seperti kalau seseorang menyanyikan lagu yang kau ciptakan, namun dalam konser yang tiketnya tak pernah kau beli.

Beliau bacakan semua itu dengan penghayatan yang nyaris dramatis. Yang bikin saya terperangah, beliau tak tahu siapa penulis tulisan itu. Penulisnya duduk tepat di depannya, diam, tidak berkedip, sambil dalam hati berteriak, “Pak… itu tulisan saya!”

Barulah setelah sesi pembukaan ditutup, saya diperkenalkan. “Yang nulis, ini orangnya.” Seketika, beliau langsung memeluk saya dengan kehangatan yang tulus, bukan protokoler. Ternyata selama ini, beliau adalah penggemar tulisan saya.

Di situ saya sadar. Tulisan saya telah mendahului saya. Ia berjalan jauh, menyusup ke meja gubernuran, menyeberang lewat mata orang-orang penting, dibaca ulang berkali-kali, dan akhirnya bertemu saya kembali dalam bentuk pelukan terhormat.

Di sesi pemaparan, Sekjen SMSI membuka fakta, secara persyaratan formal, HM Margono memenuhi seluruh kriteria pahlawan nasional.

Sementara Syafaruddin Usman menambah bobotnya dengan data sejarah dan buku penelitian yang ia tulis tentang Margono. Bukan sekadar pendapat, tapi fondasi akademik yang tak bisa dipatahkan dengan komentar ngawur.

Lalu, saya? Saya tidak membawa dokumen negara atau arsip kolonial. Saya membawa suara publik, komentar netizen, diskusi pembaca, suara rakyat dari bawah. Hampir semuanya sepakat, HM Margono layak menjadi Pahlawan Nasional.

Namun tampaknya, kata Sekjed SMSI, Prabowo memilih menunggu. Barangkali ia tak ingin dikira mencari keuntungan politis. Barangkali ia sedang menjaga etika. Atau barangkali ia paham, bahwa kemuliaan sejarah yang sejati harus datang tanpa tanda tanya pamrih, atau aji mumpung.

Saya menutup hari itu dengan rasa yang sulit dijelaskan. Rasanya seperti menemukan, kata-kata bisa menjadi anak panah, bisa menjadi pelita, bisa menjadi pemantik dialog kenegaraan. Saya semakin yakin, menulis bukanlah kegiatan sunyi di balik layar. Menulis bisa mengguncang ruang-ruang resmi. Menulis bisa menciptakan pertemuan.
Menulis bisa membuat seorang pejabat membaca kata-kata kita, menghafalnya, jatuh cinta padanya… lalu memeluk kita karenanya.

Terima kasih kepada M. Kusyairi, Ketua SMSI Kalbar yang kembali terpilih, dua periode kepemimpinan bukan sekadar tanda prestasi, tapi bukti kepercayaan.

Untuk semua yang hadir, semua yang membaca, semua yang mendengar, ketahuilah, kadang, yang bergerak paling jauh bukanlah kaki kita, tapi tulisan kita.

“Bang, ada info panas tu, Pak Wagub marah dengan Gubernur, tak diundang pelantikan eselon II.”

“Itu akibat tak pernah ngopi bareng, wak.” Ups

*Rosadi Jamani Ketua Satu Pena

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed