by

Hotel Four Points Disorot, Pengamat: PT APG Harus Bertanggung Jawab

Kubu Raya, Media Kalbar – Pembangunan Hotel Four Points di Jalan Ahmad Yani, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, kembali menjadi sorotan publik. Bukan karena kemegahannya sebagai hotel terbesar di wilayah itu, melainkan karena persoalan pembayaran yang belum tuntas terhadap sejumlah vendor lokal penyedia bahan bangunan.

Dr. Herman Hofi Munawar, pengamat kebijakan publik sekaligus advokat, menilai kasus ini mencederai prinsip keadilan bagi pelaku usaha lokal. “Sangat disayangkan, vendor lokal yang sudah memenuhi kewajibannya justru belum menerima haknya. Ini bentuk ketidakpatuhan terhadap prinsip tata kelola BUMN yang baik,” ujar Herman, Jumat, 10 Oktober 2025.

Pembangunan hotel mewah tersebut diketahui melibatkan PT Adhi Persada Gedung (APG) sebagai kontraktor utama. PT APG sendiri merupakan anak perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bertanggung jawab penuh terhadap penyelesaian proyek.

Namun, menurut Herman, hubungan hukum antara pihak hotel dan para vendor material tidak bersifat langsung.

“Pihak hotel berkontrak dengan PT APG, sementara para vendor memasok bahan bangunan melalui mekanisme subkontrak dengan PT APG,” jelasnya.

Meski material bangunan sudah sepenuhnya terpasang dan kontrak antara hotel dan PT APG telah berakhir, para vendor dikabarkan belum menerima pembayaran.
“Tentu hal ini menimbulkan keresahan di kalangan vendor sebagai pelaku usaha lokal yang sudah beritikad baik,” tambah Herman.

Dalam analisis hukumnya, Herman menjelaskan bahwa situasi ini tunduk pada asas kepribadian kontrak (privity of contract). Berdasarkan asas tersebut, perjanjian hanya mengikat pihak-pihak yang menandatanganinya.

“Dengan demikian, pihak Hotel Four Points tidak memiliki tanggung jawab hukum langsung terhadap para vendor material. Beban tanggung jawab sepenuhnya ada pada PT Adhi Persada Gedung,” katanya.

Herman juga menegaskan bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, kontraktor wajib membuktikan kemampuan finansial dan memenuhi seluruh kewajiban pembayaran kepada mitra kerja. Jika hal itu tidak dilakukan, maka tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai wanprestasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 1243 KUHPerdata.

Lebih jauh, Herman menilai tindakan PT APG telah melanggar Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, khususnya Pasal 74, yang mewajibkan setiap BUMN bertanggung jawab terhadap mitra lokal dan menjalankan prinsip Good Corporate Governance (GCG).

“Perbuatan PT APG ini sangat memalukan. Sebagai anak perusahaan BUMN, seharusnya mereka menjadi contoh dalam penerapan tata kelola perusahaan yang baik, bukan justru menelantarkan kewajiban terhadap pelaku usaha kecil di daerah,” tegasnya.

Menurut Herman, pengelolaan proyek pemerintah maupun BUMN semestinya tidak hanya berorientasi pada hasil fisik, tetapi juga memperhatikan aspek moral dan sosial terhadap pelaku ekonomi lokal.

“BUMN mengelola aset negara, maka tanggung jawab moral dan hukum mereka jauh lebih besar,” tutupnya. (*/Amad)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed