Oleh: Ruhermansyah*
Merujuk Berita dari berbagai media, Kematian Juwita, seorang jurnalis muda yang gigih, bukan sekadar berita duka. Ini adalah alarm keras bagi kebebasan pers dan keadilan di negeri ini. Juwita pergi dalam sunyi, namun suaranya tidak boleh hilang begitu saja. Negara memiliki kewajiban hukum dan moral untuk menuntaskan kasus ini dengan transparan dan adil.
1. Bukan Sekadar Kecelakaan
Pasal 338 KUHP menyatakan:
“Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.”
Sedangkan Pasal 340 KUHP memperberat hukuman jika ada unsur perencanaan:
“Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu menghilangkan nyawa orang lain, diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup.”
Fakta bahwa barang pribadi Juwita hilang dan tubuhnya mengalami luka yang mencurigakan mengindikasikan bahwa ini bukan sekadar kecelakaan. Jika terbukti ada kekerasan sebelum kematiannya, maka Pasal 351 ayat (3) KUHP tentang penganiayaan yang mengakibatkan kematian juga bisa diterapkan.
2. Kebebasan Pers yang Terancam
Juwita tidak sekadar menulis berita. Ia mengungkap kebenaran yang mungkin mengusik pihak tertentu. Negara wajib melindungi jurnalis sesuai Pasal 8 UU Pers (UU No. 40 Tahun 1999) yang menegaskan bahwa:
“Dalam menjalankan profesinya, jurnalis mendapat perlindungan hukum.”
Ketika jurnalis menjadi korban, bukan hanya individu yang dirugikan, tetapi juga hak publik untuk mendapatkan informasi. Kematian Juwita adalah ancaman bagi kebebasan pers, sebagaimana dijamin dalam Pasal 28F UUD 1945:
“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.”
3. Tanggung Jawab Negara: Keadilan Harus Ditegakkan
Negara tidak boleh tinggal diam. Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Indonesia adalah negara hukum, yang berarti setiap pelanggaran hukum harus diusut tuntas.
Lebih lanjut, Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban mengamanatkan bahwa:
“Saksi dan korban berhak atas perlindungan dari ancaman yang membahayakan diri dan keluarganya.”
Ini berarti keluarga Juwita dan rekan-rekan jurnalistik yang terus memperjuangkan keadilan harus dijamin keamanannya.
4. Jika Pelaku Berasal dari Institusi Militer, Harus Diadili Secara Transparan
Jika benar seorang anggota TNI AL terlibat, maka ada dua jalur hukum yang bisa ditempuh:
Jika ia bertindak secara pribadi, maka ia harus diadili di peradilan umum sebagaimana diatur dalam KUHP dan KUHAP.
Jika ada unsur kedinasan atau kepentingan institusi, maka proses peradilannya harus merujuk pada Undang-Undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, tetapi tetap dengan pengawasan publik agar tidak terjadi impunitas.
Kasus ini tidak boleh ditutup-tutupi atau diselesaikan dengan kompromi. Transparansi adalah kunci agar keadilan benar-benar ditegakkan.
Juwita Tidak Boleh Dilupakan
Juwita telah pergi, tetapi suaranya harus terus hidup. Negara memiliki kewajiban untuk:
Menyelidiki kasus ini secara menyeluruh dan transparan
Melindungi saksi, keluarga korban, dan rekan jurnalis lainnya
Menjamin bahwa tidak ada impunitas bagi pelaku kekerasan terhadap jurnalis
Kasus ini bukan hanya tentang Juwita, tetapi tentang masa depan kebebasan pers di Indonesia. Jika hari ini kita membiarkan kasus ini berlalu tanpa keadilan, maka besok akan ada Juwita-Juwita lain yang mengalami nasib serupa.
Keadilan bukan hanya sekadar tuntutan, tetapi juga kewajiban negara. Jangan biarkan Juwita pergi dalam sunyi tanpa kebenaran yang terungkap. (*)
*) Ruhermansyah Praktisi Hukum di Pontianak Kalimantan Barat
Comment