Jakarta, Media Kalbar
Dinamika kontestasi politik pilpres 2024 sudah mulai terasa. Meski masih memiliki banyak waktu, beberapa partai politik sudah mulai membangun koalisi. Diskursus terakhir yang berkembang beberapa partai mulai menjajaki untuk membentuk “koalisi besar”.
Mencermati dinamika dan konfigurasi politik yang berkembang, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) kemudian berinisiatif mengadakan Focus Group Discussion dengan tema *Tantangan Sistem Presidensial, Koalisi Parpol dan Oposisi serta Dampaknya pada Pembentukan Kabinet Hasil Pilpres 2024 di Indonesia* pada Rabu (4/4/2023).
Dalam kegiatan tersebut, Kepala BPHN Widodo Ekatjahjana menyampaikan bahwa berdasarkan hasil kajian BPHN, gagasan pembentukan ‘koalisi besar’ tidak dilarang dalam sistem konstitusi. Namun, kombinasi sistem presidensial dengan menerapkan sistem multipartai dalam praktiknya cenderung mendorong kultur politik yang pragmatis dan tidak ideologis.
“UUD 1945 memberikan kemungkinan Calon Presiden dan Wakil Presiden diusung oleh partai politik atau gabungan beberapa partai politik. Maka gagasan membentuk koalisi besar pada saat menjelang pilpres 2024 secara politik merupakan hal yang logis dan biasa,” ujar Widodo dalam kegiatan yang berlangsung secara virtual melalui Zoom tersebut.
Menurut Widodo, partai politik yang dapat mengusung sendiri calon presiden dan wakil presidennya tentu dapat mengajak partai-partai lain agar bergabung menjadi partai pendukung agar kedudukan presiden dan pemerintahan yang dibentuknya nanti kuat dan stabil. Dengan demikian, dalam format koalisi besar dalam pilpres 2024 itu nanti, ada unsur partai pengusung dan partai pendukung. Partai pengusung yaitu parpol yang dapat mengusung sendiri calon presiden dan wakil presidennya. Sedangkan partai pendukung adalah parpol yang tidak dapat mengusung sendiri calonnya, kecuali bergabung dengan partai politik lainnya.
“Partai pengusung dan partai pendukung dapat bekerja sama untuk tidak memenangkan pilpres 2024 saja, namun juga untuk membentuk kekuatan politik di lembaga perwakilan (parlemen) dan di kabinet pemerintahan. Itu sebabnya koalisi besar yang dibangun oleh partai-partai politik itu idealnya mengarah pada tiga bentuk koalisi, yaitu koalisi untuk pemenangan pilpres, koalisi untuk membentuk kekuatan politik di lembaga perwakilan (parlemen) dan koalisi di kabinet pemerintahan,” tambahnya.
Partai Pengusung, lanjut Widodo, mesti mengakonsolidir dan mengakomodir kepentingan politik partai pendukung. Sebaliknya, partai pendukung mesti memberikan tempat, penghargaan dan penghormatan kepada partai pengusung untuk mengorganisir koalisi besar itu dengan berpegang pada sistem konstitusi, konvensi dan etika politik sebagai ‘kaidah atau aturan dasar’ yang harus ditaati dan dijunjung tinggi oleh anggota-anggotanya.
Oleh karena itu, Widodo menambahkan, koalisi besar yang dibangun harus memiliki platform dan tujuan politik yang sama, yaitu membentuk kekuasaan pemerintahan negara yang konstitusional-demokratis, mengedepankan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan, serta diwujudkan dalam budaya politik yang menjunjung tinggi semangat kebersamaan, kerukunan, musyawarah kekeluargaan dan gotong-royong. Itu yang utama.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Pemerintahan (PUSHAN) Oce Madril mengungkapkan bahwa, di Indonesia praktik pembentukan pemerintahan (kabinet) akhir-akhir ini lebih mencerminkan sistem parlementer daripada sistem presidensial. Praktik ini telah jauh menyimpang dari kehendak konstitusi.
“Padahal, menurut konstitusi, partai politik menjadi satu-satunya pintu masuk bagi seorang warga negara yang memenuhi syarat untuk menjadi calon presiden dan/atau wakil presiden,” ujarnya.
Menurut Oce Madril, kedudukan partai politik pengusung presiden tidak sama dengan partai politik pendukung atau partai politik lainnya. Partai politik pengusung presiden mendapatkan hak atau wewenang istimewa yang bersumber dari ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
Ketua Pusat Studi Pancasila dan Penyelenggaraan Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana Jimmy Z. Usfunan menyampaikan perhatiannya bahwa koalisi yang terjadi seharusnya menjadi bentuk penyatuan platform ideologi dan tujuan politik yang sama.
“Jangan sampai koalisi yang dibangun sifatnya hanya kepentingan pragmatis saja. Hal tersebut akan menjadi ancaman bagi sistem presidensial dan pembentukan kabinet pemerintahannya. Partai pengusung yang memiliki kedudukan istimewa karena dapat mengusung sendiri menurut konstitusi mesti dapat mengkonsolidasi spirit gotong-royong untuk membentuk kekuatan politik bersama partai pendukung untuk memenangkan pilpres, menguasai parlemen dan membentuk pemerintahan presidensial sesuai konstitusi,” kata Jimmy.
Perhatian mengenai relasi antara ideologi partai dengan calon yang diusung juga disorot oleh Pakar Komunikasi Politik Universitas Pelita Harapan Emrus Sihombing. Menurut Emrus, seorang kader parpol yang diusung wajib sejalan (in line) dengan kebijakan partainya. Sebab, presiden merupakan representasi partai dan akan menjalankan program pembangunan yang sudah disesuaikan dengan platform ideologi dan garis politik partai itu sendiri.
“Dalam sistem presidensial di Amerika, presiden terpilih memiliki tugas untuk menjalankan pemerintahannya sesuai garis politik partai yang mengusung dan mendukungnya. Jadi, relasi politik presiden terpilih dengan partai politik pengusung dan pendukungnya in line,” kata Emrus menjelaskan.
Senada dengan Emrus, Pakar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret/Direktur LKBH Agus Riewanto menyampaikan bahwa dalam menjalankan pemerintahan, seorang presiden terikat dengan parpol pengusungnya. “Ideologi parpol pengusung terus dibawa presiden dalam program pemerintahan yang dijalankannya. Relasinya terus berjalan, tidak terputus. Parpol pendukung juga konsisten dalam menyokong program yang dilakukan presiden, bukan malah menjadi oposisi,” pungkasnya. (**/amad)
Comment