Oleh: Mustafa*)
Pada dasarnya manusia adalah makhluk yang paling sempurna, QS. at-Tin/95: 4, “Sesungguhnya Kami ciptakan manusia dalam bentuk sebaik-baiknya.
Namun dibalik kesempurnaan itu secara fisik dan psikis pada diri manusia tersimpan dua potensi, yakni potensi jahat dan baik. QS. Asy-Syam/91: 8 “lalu Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya”.
Pengilhaman potensi “Fujur” (kejahatan) dan “Takwa” (kebaikan) pada manusia, jika “Fujur” (kejahatan) mendominasi maka tersesatlah ia, dan sebaliknya “ketakwaan” (kebaikan) lebih dominan maka bahagialah manusia tersebut.
Baik dan jahat (Takwa dan Fujur) adalah pilihan, maka untuk menentukan pilihan itu manusia diberi akal. Akal sebagai alat bagi manusia untuk memahami ajaran agama yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul-Nya.
Mengamalkan ajaran agama dapat tercermin dari aktivitas manusia untuk menghasilkan ketakwaan (kebaikan). Apabila ketakwaan ini dilaksanakan sepanjang hayat, maka sesuai janji Allah berupa kebahagiaan di dunia maupun akhirat.
Meraih kebahagiaan memang hak setiap manusia, namun proses untuk meraih kebahagiaan itu tidak terlepas dari faktor lingkungan dan keluarga.
Setiap manusia memiliki tanggung jawab untuk mewujudkan kebahagiaan masing-masing anggota keluarganya. QS. at-Tahrim: 6, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka. Menghindar dari azab “api neraka” adalah dambaan dan kebahagiaan setiap manusia.
Menyelamatkan diri dan keluarga dari “api neraka” dengan cara memperbaiki hidup di dunia, proses penyelamatan itu harus melalui pendidikan.
Melalui pendidikan manusia dituntun untuk membedakan baik dan jahat (Takwa dan Fujur). Pendidikan proses bimbingan untuk memiliki kepribadian atau karakter sehingga menjadi “insan kamil” (manusia paripurna).
Pendidikan proses membebaskan manusia dari kebodohan, keterbelakangan, kemiskinan dan kejumudan. Pendidikan proses melatih mental dan spritual sehingga tidak terpengaruh pada budaya yang negatif disebabkan perubahan zaman yakni era revolusi industri (digitalisasi).
Lingkungan pendidikan pada dasarnya adalah segala sesuatu yang ada dan terjadi di sekeliling proses pendidikan. Moh. Haitami Salim (2012), menjelaskan bahwa “Lingkungan pendidikan sebagai suatu institusi atau lembaga tempat pendidikan itu berlangsung”. Lingkungan pendidikan keluarga (informal) bagian dari tripusat pendidikan, setelah pendidikan lingkungan di sekolah (formal), dan lingkungan pendidikan di masyarakat (nonformal).
Lingkungan pendidikan di sekolah atau Madrasah dan Universitas sebagai lembaga pendidikan (formal) dan lingkungan pendidikan di masyarakat sebagai lembaga pendidikan (nonformal) belum mampu menuntun, membebaskan dan membina serta melatih diri manusia memperoleh potensi “Takwa” (kebaikan) dan menghindari potensi “Fujur” (kejahatan). Lantas apa solusi lingkungan pendidikan yang tepat untuk mengarahkan potensi “Takwa” (kebaikan) pada manusia?
Lingkungan pendidikan di masyarakat dan lingkungan pendidikan di sekolah, dua lingkungan pendidikan ini, sebelumnya terlebih dahulu anak-anak memperoleh pendidikan di lingkungan keluarga. Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas disebutkan bahwa keluarga merupakan lembaga pendidikan informal. Selain itu, keluarga juga disebut sebagai satuan pendidikan luar sekolah. Pentingnya pembahasan tentang pendidikan lingkungan keluarga ini mengingat bahwa keluarga memiliki peranan penting dan paling pertama dalam mendidik setiap anak.
Keluarga adalah lingkungan pertama dan utama, serta peletak fondasi dari watak dan pendidikan setelahnya. Dalam hal ini, orangtua bertindak sebagai pendidik, si anak sebagai peserta didik, (Moh. Haitami Salim, 2012). Oleh karena itu, lingkungan pendidikan keluarga merupakan pendidikan yang tidak boleh diabaikan. Bukan berarti menurunkan kepercayaan pada pendidikan lingkungan di sekolah (formal) dan pendidikan lingkungan di masyarakat (nonformal). Justru menurut hemat penulis yang paling menentukan tingkat keberhasilan pendidikan itu dimulai dari lingkungan keluarga.
Lingkungan pendidikan di keluarga ini mendorong orangtua untuk berfikir, apa yang harus dilakukan oleh orangtua untuk mendidik anak-anaknya. Dalam hal ini, paling tidak ada tiga cara yang bisa dijadikan pedoman untuk pendidikan anak-anak di lingkungan keluarga:
Pertama,
Arah pendidikan di lingkungan keluarga hendaknya mengacu pada penyadaran bahwa manusia pada hakekatnya adalah makhluk yang suci karena keberadaanya bersumber dari fitrah Allah yang suci. Dalam QS. ar-Rum/30: 30, “Maka, hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam sesuai) fitrah (dari) Allah yang telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu.”
Upaya penyadaran kearah ini orangtua hendaknya melakukan antara lain; 1) membiasakan untuk saling harga menghargai, 2) berkasih sayang, dan 3) bersyukur atas segala kenikmatan yang dirasakan. Orangtua hendaknya mengawasi pelaksanaan ibadah sholat bagi anak-anaknya. Orangtua juga harus memberi contoh dan menjelaskan kepada anak-anak bahwa sholat bentuk penghambaan dan menjaga kesucian diri.
Kedua,
Asal peciptaan manusia sebagai pemakmur bumi, tempat darimana ia berasal. Dalam QS. Huud/11: 61, “Kepada (kaum) Samud (Kami utus) saudara mereka, Saleh. Dia berkata, “Wahai kaumku, sembahlah Allah! Sekali-kali tidak ada tuhan bagimu selain Dia. Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya”.
Pendidikan di lingkungan keluarga perlu memperhatikan aspek mentalitas. Menjadi pemakmur orang, tidak mungkin berpangku tangan atau berdiam diri. Tugas memakmurkan bumi hanya orang mau bekerja, berusaha dan berkarya. Oleh karena itu, anak-anak perlu ditanamkan sikap mental gemar bekerja, ulet, tekun dan sungguh-sungguh.
Seyogyanya setelah pendidikan di lingkungan keluarga, tahap selanjutnya sampai usia untuk mamasuki pendidikan lingkungan di sekolah (formal) agar anak-anak dapat bekerja, melatih mandiri dan beradaptasi di lingkungan tempat tinggalnya.
Ketiga,
Menyiapkan anak-anak untuk mampu mengemban amanah Allah sebagai Khalifah di muka bumi. Dalam QS. al-Baqarah/2: 30, “(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi”. Oleh karena itu, anak-anak perlu dijelaskan mengapa manusia diciptakan, untuk apa manusia diciptakan dan apa tanggung jawabnya.
Metode penjelasan orangtua,mengarahkan anak-anak pada akhirnya manusia tidak mungkin lepas dari pengabdian kepada Allah dalam aktivitas hidupnya. Pengabdian inilah akan memelihara anak-anak dari berbagai bentuk penyimpangan dalam hidupnya.
Menumbuhkan keyakinan dan kesadaran pada anak-anak, bahwa tugas kekhalifahan yang diemban manusia sangat mulia kelak menjadi barometer apakah sudah mencapai kebahagiaan ataukah sebaliknya azab dan siksa neraka yang mencerminkan ketidakbahagiaan.
Tiga pedoman tersebut sebagai acuan orangtua dalam pendidikan di lingkungan keluarga. Selain itu orangtua juga harus memahami masalah pokok ajaran agama (al-Quran) dan memiliki keluasan pemahaman terhadap berbagai persoalan yang terjadi disekitarnya. Orangtua dituntut untuk memelihara anggota keluarganya dari “api neraka” yang melambangkan ketidakbahagiaan.
Tidak ada satu keluarga pun yang tidak menginginkan kebahagiaan untuk anggota keluarganya. M. Natsir dalam Saiful Falah (2012), berkata “Maju dan mundur salah satu kaum bergantung sebagian besar kepada pelajaran dan pendidikan yang berlaku dalam kalangan mereka itu”.
Pendidikan meliputi seluruh aspek kehidupan, baik formal di sekolah, informal di keluarga dan nonformal di masyarakat. Maka dari tripusat pendidikan itu, hanya pendidikan di lingkungan keluarga sebagai penentu membentuk “Insan Kamil”. Wallahu a’lam bish-shawab. (*)
*)Penulis: Guru PAI Madrasah Aliyah Tarbiyatul Islamiyah Rantau Panjang Kecamatan Sebangki Kabupaten Landak dan Sekretaris DPD FKOB Kota Pontianak.
Comment