by

Predikat Taqwa

Oleh: Mustafa*)

Masa “belajar di Madrasah” Ramadhan telah usai. Sungguh sangat singkat, hanya satu bulan. Para “siswa” mengekspresikan “kelulusan” dengan berbeda-beda. Perbedaan perasaan dan pemikiran saat menyambut, menjalani dan mengakhiri Ramadhan. Ada yang senang, karena merasa akan segera terbebas dari segala penderitaan (menahan hawa nafsu). Ada juga yang menyesal, karena tidak mampu mengoptimalkan masa “belajar” itu untuk meraih rahmat, ampunan dan pembebasan api neraka. Ada yang sedih, karena Ramadhan berakhir dan ia tidak yakin akan bertemu kembali di tahun yang akan datang.

Miliyaran umat Islam di seluruh dunia menerima “Penggumuman kelulusan” (Predikat Taqwa). Namun apakah semua mendapatkan predikat sebagai muttaqiin (orang yang bertaqwa). Predikat taqwa, hanya bagi siswa yang “lulus ujian” dan berhasil memaknai puasa serta ibadah lainnya di bulan Ramadhan. Selebihnya, hanya bisa ikut-ikutan memeriahkan “kelulusan” dengan ketupat lebaran, baju dan sepatu barunya. Atau mendekorasi ulang interior rumah, sekadar menandakan, ini sudah Idul Fitri. Meskipun mereka mengetahui hal itu, mayoritas diantarannya yang tidak mendapatkan predikat taqwa tapi tetap saja mereka tidak peduli. Masjid kian sepi dari jamaah. Tilawah al-Quran tidak lagi terdengar. Shalat malam tidak lagi tegak. Bahkan yang lebih menarik lagi, yaitu menghabiskan uang (THR) tunjangan hari raya dari kantor untuk persiapan lebaran dan pulang kampung.

Miliyaran “siswa” di Madrasah Ramadhan “lulus” (Taqwa), mereka diharapkan bisa survive menghadapi sebelas bulan yang akan datang. Menjadi lulusan berpredikat taqwa yang mengenal Tuhannya, tahu siapa dirinya dan memahami kemana jalan pulang untuk berjumpa Rabbnya. Kini, predikat taqwa yang disandang akan membawa kemaslahatan diri di dunia dan akhirat. Walaupun sebenarnya, seluruh amalan di bulan Ramadhan yang telah di lakukan, tidak akan mampu mengantarkan diri ini masuk ke dalam surga Allah SWT.

Namun, apakah predikat taqwa sudah diperoleh? Jangan-jangan seperti yang disabdakan oleh Nabi SAW, “Banyak orang yang berpuasa, namun ia tidak mendapatkan pahala apa pun dari puasanya, selain rasa lapar dan dahaga saja.” (HR Imam Ahmad). Jika standar capaian tertinggi puasa adalah taqwa, maka tanda-tanda sukses “Madrasah” Ramadhan pun tak lepas dari ciri-ciri muttaqîn (orang-orang yang bertaqwa). Semakin tinggi kualitas taqwa, indikasi semakin tinggi pula kesuksean kita berpuasa. Demikian juga sebaliknya, semakin hilang kualitas taqwa dalam diri ini, pertanda gagallah Ramadhan kita.

Lantas, apa saja ciri-ciri orang yang memiliki predikat bertaqwa. Allah SWT menjelaskan dalam firmannya Q.S. Ali Imran: 134 “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” Dalam ayat ini Allah SWT menjelaskan ciri-ciri predikat taqwa antara lain; Pertama. Orang bertaqwa adalah orang yang gemar menafkahkan sebagian hartanya dalam kondisi senang ataupun sulit. Dalam keadaan bahagia ataupun susah. Orang bertaqwa itu tidak akan sibuk hanya memikirkan diri sendiri. Akan tetapi orang bertaqwa itu harus berjiwa sosial, menaruh empati kepada sesama, serta rela berkorban untuk orang lain dalam setiap keadaan. Bahkan, orang bertaqwa itu tidak hanya suka memberi kepada orang yang dicintainya, tapi juga kepada orang-orang memang membutuhkan.

Dalam konteks Ramadhan dan Idul Fitri, sifat taqwa pertama ini sebenarnya sudah mulai didorong oleh ummat Islam dengan melalui ajaran zakat fitrah. Zakat fitrah merupakan simbol bahwa “rapor kelulusan” puasa harus ditandai dengan mengorbankan sebagian kekayaan kita dan menaruh kepedulian kepada saudara-saudara kita yang lemah.

Kata “yunfiqûna” dalam ayat tersebut menggunakan fi’il mudhori’. Kata yunfiqûna yang bermakna aktivitas itu berlangsung terus-menerus. Dari sini, dapat dipahami bahwa zakat fitrah hanyalah awal atau “pancingan” bagi segenap kepedulian sosial tanpa henti pada 11 bulan kedepan berikutnya.

Kedua, Orang yang bertaqwa adalah mampu menahan amarah. Marah merupakan sifat manusiawi. Tapi orang-orang yang bertaqwa tidak akan mengumbar marah begitu saja. Dalam ayat tersebut, kata al-kâdhim aratinya orang yang menahan, kata itu serumpun kata dengan kata al-kadhîmah artinya termos. Jadi dua kata tersebut (al-kâdhim dan al-kadhîmah) mempunyai fungsi membendung: al-kadhim membendung amarah, dan sedangkan al-kadhimah membendung air panas, serperti termos.

Jadi orang bertaqwa semestinya mampu menyembunyikan panas di dadanya sehingga orang-orang di sekitarnya tidak tahu bahwa ia sedang marah. Bisa jadi ia tetap marah, namun ketaqwaan mencegahnya melampiaskan itu karena tahu mudharat yang bakal ditimbulkan. Kalau termos hanya menuangkan air panas pada saat yang jelas fungsihnya dan betul-betul dibutuhkan. Maka oleh karena itu sepatutnyalah pada kesempatan lebaran kali ini, kita umat Islam senantiasa mengontrol emosi kita sebaik mungkin. Mencegah amarah menguasai dirinya, dan bersikap kepada orang-orang pernah membuatnya marah secara wajar dan biasa-biasa saja. Ramadhan semestinya telah melatih orang untuk berlapang dada, bijak sana, dan tetap sejuk menghadapi situasi sepanas apa pun.

Ketiga, orang bertakwa adalah memaafkan kesalahan orang lain. Sepanjang Ramadhan, kita umat Islam sering berdoa dan memperbanyak permohonan maaf kepada Allah dengan membaca doa: “Allahumma innaka ‘afuwwun, tuhibbul ‘afwa, fa’fu’anni“ (Yaa Allah sesungguhnya engkau Maha pemberi ampunan, suka memberi pengampunan, maka ampunilah diriku ini)” Kata ‘afw (maaf) diulang sampai tiga kali dalam doa tersebut, menunjukkan bahwa manusia memohon dengan sangat serius ampunan dari Allah SWT. Memohon ampun merupakan bukti kerendahan diri di hadapan-Nya sebagai hamba yang banyak kesalahan dan dosa. Baik dosa kecil maupaun besar, dosa yang disengaja atau tidak disengaja dan dosa yang nampak ataupun tidak nampak.

Cara ini, bila dipraktikkan dengan penuh pengahayatan, sebenarnya melatih orang selama Ramadhan tentang pentingnya maaf. Bila diri kita sendiri saja tak mungkin suci dan banyak noda dan dosa dan kesalahan, alasan apa jika kita tidak mau memaafkan kesalahan orang lain? Maaf merupakan sesuatu yang singkat namun bisa terasa sangat berat karena persoalan ego, gengsi, dan unsur-unsur nafsu lainnya.

Marilah dengan momentum lebaran di bulan Syawal ini, tradisi bersilaturahim dan saling memaafkan. Maka sempurnalah pembelajaran di Madrasah Ramadhan. Kini saatnya membersihkan diri dari kesalahan-kesalahan kepada Allah, selanjutnya kita saling memaafkan kesalahan masing-masing di antara manusia. Wallahu a’lam bishawab.

*)Penulis: Guru PAI MA Tarbiyatul Islamiyah Rantau Panjang Kecamatan Sebangki Kabupaten Landak. Pengurus MW KAHMI Kalimantan Barat.

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed