Oleh: Mustafa
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika bermakna berbeda-beda tetapi tetap satu merupakan milik bangsa Indonesia, hal ini menunjukan bahwa bangsa Indonesia yang terdiri dari warga negara yang berasal dari berbagai suku, ras, bahasa dan agama. Fakta sosial ini mendorong berkembangnya faham toleransi di dalam demokrasi, sehingga melahirkan konsep bangsa. Bangsa adalah sekumpulan orang yang bersatu meskipun berbeda dalam banyak hal. Perbedaan tersebut tidak membuat orang bermusuhan. Namun, keberhasilan menyatukan perbedaan dengan sistem demokrasi. Bagi sebuah negara dan bangsa ditentukan oleh kemampuan warganya untuk mengembangkan toleransi dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan demi keutuhan bangsa.
Bhinneka Tunggal Ika mempunyai hubungan yang erat dengan Pancasila yang merupakan dasar negara Indonesia. Lahirnya Pancasila disebabkan adanya kesadaran bahwa masyarakat yang tinggal di kepulauan Nusantara dengan masyarakat yang majemuk (plural) hanya bisa kuat apabila mereka bersatu. Pentingnya persatuan ini kemudian ditunjukan dengan kalimat Persatuan Indonesia pada sila Pancasila. Sila Persatuan Indonesia dalam Pancasila telah mampu menjadi alat pemersatu bangsa untuk membentengi bangsa dari berbagai ancaman yang akan memecah belah keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari kelompok berupa “separatisme” dan “kudeta”.
Pancasila adalah sebuah ideologi milik bangsa Indonesia yang sudah didukung oleh konsensus kesepakatan nasional pendiri bangsa. Konsensus nasional itu sangat penting, karena konsensus tersebut menunjukan bahwa bangsa Indonesia tetap ada sampai sekarang. Seluruh komponen bangsa tanpa terkecuali bersepakat menjadikan Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebagai konsensus kesepakatan bersama untuk tegak berdirinya negara Indonesia di bumi pertiwi ini.
Pancasila merupakan falsafah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bagi negara Indonesia dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, yaitu sebuah prinsip persatuan dan kesatuan bagi semua warga Indonesia yang memiliki perbedaan sosial, kultur, dan agama. Perbedaan-perbedaan tersebut tidak menjadi penghalang untuk hidup bersama dan berdampingan secara damai.
Konsensus kesepakatan nasional dalam cacatan sejarah perjalanannya telah mengalami proses perdebatan sengit. Perdebatan mempertahankan konsensus nasional tersebut penuh lika liku perjuangan. Perdebatan sengit itu mampu melahirkan rumusan Pancasila sebagai dasar negara. Perlu dipahami bahwa rumusan Pancasila 1 Juni 1945 yang terdapat dalam apa yang disebut dengan Piagam Jakarta, pada 18 Agustus 1945 yang dituangkan dalam Pembukaan UUD 45 alenia ke 4 dan perubahan pada rumusan sila dasar negara Pancasila, yaitu sila pertama. Semula dalam sila pertama dari dasar negara berbunyi; “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”. Namun, setelah mengalami pembahasan dan pedebatan yang panjang sehingga berkat kompromi pada 18 Agustus 1945 berubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kesediaan mengubah sila pertama dengan menghilangkan tujuh kata dalam Piagam Jakarta merupakan kesadaran kebesaran jiwa para pendiri bangsa ini.
Walaupun konsensus nasional bersepakat tentang ideologi Pancasila. Namun dalam perjalannya selalu mengalami berbagai ujian. Ujian itu, bahkan ada yang menyebutnya semacam “snowball” kebangsaan. Ada tiga tantangan besar ideologi pancasila. Pertama, adanya kelompok ekstrim baik kanan maupun kiri yang memperjuangkan untuk tidak menyebut memaksakan ideologinya untuk diakui dan bahkan menjadi dasar pemerintahan yang mereka inginkan. Kelompok ini adalah kelompok yang anti keragaman. Mereka menganggap ideologi mereka sendirilah yang benar. Oleh karena itu, mereka ingin mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi yang mereka yakini. Jelasnya mereka ingin mengubah negara ini sesuai dengan konsep negara yang mereka inginkan. Kelompok ini tidak segan-segan menggunakan cara-cara kekerasan untuk memaksakan ideologinya. Mereka secara terang-terangan memperjuangkan ideologinya dengan berlindung dibalik ideologi pancasila yang dianut bangsa ini.
Kedua, adanya kelompok liberal yang juga berlidung dibalik faham ideologi Pancasila yang ingin memperjuangkan ideologi dan gerakan mereka untuk diakui di Republik ini. Argumentasinya adalah jika bangsa ini mengakui keragaman maka setiap perbedaan harus diakui. Namun yang mereka perjuangkan adalah sesuatu yang sesungguhnya bertentangan dengan nilai-nilai dasar didirikanya Republik ini. Kelompok ini didukung oleh gerakan yang bersifat global. Hanya kelompok ini tidak sampai ingin mengganti ideologi negara, tetapi dapat merusak nilai-nilai luhur yang menjadi sendi-sendi berbagsa dan bernegara.
Ketiga, adanya kelompok yang mengedepankan aspek primordialisme secara berlebihan seperti kesukuan, kedaerahan, dan agama. Dalam kontestasi politik misalnya pemilihan Gubernur, pemilihan Bupati, pemilihan Wali Kota, dan pemilihan Presiden bahkan pada pemilihan anggota legislatif. Kandidat lain dan pendukungnya dilihat sebagai musuh yang harus dihabisi bukan sebagai sahabat, sebagai teman, atau sebagai partner.
Sejatinya semua gerakan perjuangan tersebut menunjukan adanya keragaman dalam bangsa ini. Hanya sayangnya mereka gagal memahami tentang kesatuan dan persatuan dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang dapat merajut keragaman itu. Tentu dengan berbeda-beda tetapi tetap satu berdasarkan Pancasila serta mengakui bahwa keragaman itu tetap dalam bingkai; Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan. Itulah konsensus nasional dalam berbangsa dan bernegara. Jika konsensus nasional itu dilanggar atau diganti berarti kita bubar sebagai bangsa Indonesia.
Melalui kesadaran dan kebesaran jiwa pendiri bangsa perlu dicontoh sekaligus dapat dipahami bahwa; Pertama, mengingat letak geografis. Wilayah Indonesia yang begitu luas dari Sabang sampai Merauke, dari pulau Nias sampai pulau Rote. Beribu pulau yang terdiri dari suku, bangsa, bahasa, dan agama serta beragam kebudayaan. Atas dasar itu, maka pendiri bangsa menjadi semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa.
Kedua, keragaman. Karena keragaman itu merupakan bagian dari ajaran agama. Firman Allah. “Seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikanmu satu umat (saja). Akan tetapi, Allah hendak mengujimu tentang karunia yang telah Dia anugerahkan kepadamu. Maka, berlomba-lombalah dalam berbuat kebaikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang selama ini kamu perselisihkan”. (QS. al-Maidah: 48). Alasan tersebut menjadi pertimbangan bangsa Indonesia demi menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
Maka apa jadinya jika bangsa Indonesia tanpa semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Apa jadinya jika hanya Bhinneka tanpa Tungga Ika, tentu hal utama yang akan terjadi bangsa Indonesia tidak akan memiliki landasan yang dapat mengikat mempersatukan bangsa. Tentu akan banyak terjadi perpecahan, akan banyak terjadi konflik di negeri ini, akan banyak wilayah disebagian Indonesia ingin bermaksud mendirikan bangsa sendiri terpisah dari bangsa Indonesia sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dan masih banyak lagi yang akan mungkin terjadi apabila bangsa Indonesia tanpa semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Mari kita berbangga menjadi Indonesia yang satu, Indonesia yang jaya yang selalu bersatu walaupun berbeda-beda. Banggalah karena Indonesia ini memiliki semboyan Bhinneka Tunggal Ika dan mengamalkan demi kemajuan bangsa Indonesia. Wallahua’lam bish-shawab. (*)
*Penulis adalah Guru Madrasah Ibtidaiyah Darussalam Pontianak Timur.
Comment