by

Gerak Bersama Mewujudkan Ruang Aman Perempuan

Oleh: Mustafa*

Peringatan Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) 2025 menjadi momentum penting untuk melakukan refleksi nasional mengenai kondisi perempuan di Indonesia. Di satu sisi, berbagai capaian dalam upaya kesetaraan gender patut diapresiasi. Namun, di sisi lain, realitas di lapangan menggambarkan bahwa kekerasan dan diskriminasi berbasis gender masih menjadi persoalan serius yang belum terselesaikan. Meski kampanye kesetaraan semakin masif dilakukan oleh berbagai lembaga, komunitas, dan institusi negara, fakta yang terungkap melalui Catatan Tahunan (Catahu) 2024 Komnas Perempuan menunjukkan bahwa perempuan tetap menghadapi risiko yang tinggi dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam laporan tersebut, tercatat 445.502 kasus kekerasan terhadap perempuan. Dari jumlah itu, 330.097 merupakan Kekerasan Berbasis Gender Terhadap Perempuan (KBGTP), angka yang meningkat sekitar 14,17 persen dibanding tahun sebelumnya. Mayoritas kekerasan terjadi di ranah personal relasi pasangan, keluarga, atau orang-orang terdekat yang menunjukkan bahwa ruang yang seharusnya menjadi tempat paling aman justru kerap menjadi ruang yang paling rentan bagi perempuan.

Perubahan metodologi pendataan memang memperluas cakupan laporan sehingga jumlah kasus terlihat meningkat. Namun, hal tersebut tidak menghilangkan pesan penting dari angka tersebut: bahwa beban kekerasan terhadap perempuan masih sangat besar dan kompleks. Di balik angka-angka itu terdapat suara-suara yang tidak selalu terdengar, kisah yang tertahan oleh rasa takut, dan pengalaman yang sulit diungkapkan karena lingkungan belum sepenuhnya memberikan perlindungan atau rasa aman. Data tersebut menjadi pengingat bahwa kekerasan berbasis gender bukanlah persoalan individu semata, melainkan refleksi dari struktur sosial yang belum adil, norma budaya yang diskriminatif, dan sistem perlindungan yang masih belum kokoh.

Bias yang Masih Mengakar

Bias gender tidak hanya hadir di lingkungan domestik, tetapi meresap ke berbagai ruang profesional yang seharusnya menjunjung keadilan dan meritokrasi. Banyak perempuan yang telah membuktikan kompetensi dan integritas masih dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan yang tidak terkait dengan kinerja mereka. Dalam sebuah wawancara tahun 2024, jurnalis dan pendiri Narasi, Najwa Shihab, menyoroti kesenjangan antara komitmen institusi terhadap kesetaraan dan praktik nyata di lapangan. Ia mengungkapkan bagaimana perempuan masih dihadapkan pada pertanyaan yang berhubungan dengan peran domestik saat proses promosi jabatan, seperti “kalau punya anak bagaimana?” atau “kalau anak sakit bagaimana?”. Pertanyaan semacam ini menunjukkan bahwa bias institusional masih hidup dan menempatkan perempuan pada posisi yang terus dipertanyakan kemampuannya.

Kondisi serupa juga muncul dalam dunia pendidikan. Sejumlah laporan advokasi memperlihatkan bahwa ketika siswi menjadi korban kekerasan atau pelecehan, respons institusi pendidikan tidak selalu mendukung. Prosedur penanganan yang tidak seragam, ketakutan terhadap reputasi lembaga, serta budaya yang masih menempatkan korban sebagai pihak yang harus membuktikan dirinya sering membuat penyintas memilih diam. Ketidakpastian sistem ini menciptakan ruang yang tidak aman sehingga banyak kasus kekerasan tidak pernah terungkap dan terus berulang.

Selain itu, budaya sosial yang masih mengakar juga kerap memperkuat bias tersebut. Candaan seksis, stereotip yang merendahkan perempuan sebagai makhluk yang emosional atau tidak rasional, serta budaya menyalahkan korban masih banyak ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam berbagai kesempatan, tokoh perempuan mengingatkan bahwa nilai kesetaraan telah menjadi bagian dari ajaran moral dan agama. Direktur Wahid Foundation, Yenny Wahid, dalam sebuah dialog tahun 2019 menegaskan bahwa perempuan dan laki-laki sejatinya setara dan “dibedakan hanya dalam tingkat ketakwaannya saja”, sebuah pesan yang meng-counter penafsiran keliru yang sering dijadikan pembenaran untuk membatasi ruang perempuan.

Di era digital, tantangan baru semakin nyata. Kekerasan berbasis teknologi mulai dari penyebaran foto tanpa izin, peretasan akun pribadi, hingga manipulasi deepfake semakin meningkat dan banyak menargetkan perempuan. Media sosial menjadi ruang yang keras, di mana komentar merendahkan, ancaman, dan serangan psikologis dapat menyebar dengan cepat. Kondisi ini menuntut kemampuan adaptif dari masyarakat dan institusi untuk membangun ekosistem digital yang lebih aman dan berpihak pada korban.

Gerak Bersama untuk Ruang Aman

Mewujudkan ruang aman bagi perempuan memerlukan pendekatan menyeluruh yang mencakup kebijakan, budaya, pendampingan, hingga literasi digital. Perubahan struktural menjadi aspek kunci, termasuk penyediaan mekanisme pelaporan yang aman, rahasia, dan mudah diakses. Pendampingan hukum dan psikologis perlu diperkuat agar korban mendapatkan dukungan yang layak tanpa harus menunggu tekanan publik. Penegakan hukum yang tegas dan berpihak pada korban akan meningkatkan kepercayaan perempuan untuk melapor dan memperjuangkan haknya.

Transformasi budaya juga harus menjadi agenda utama. Pendidikan kesetaraan gender sejak dini, pelibatan tokoh agama dan budaya, serta penghentian budaya menyalahkan korban harus terus diupayakan. Lingkungan sosial yang bebas dari candaan seksis dan stereotip tidak hanya membuat perempuan merasa dihargai, tetapi juga menciptakan atmosfer yang lebih inklusif dan aman bagi semua.

Di ruang digital, literasi tentang keamanan diri, rekam jejak digital, serta kerja sama dengan platform media sosial untuk merespons kekerasan siber secara cepat dan efektif menjadi kebutuhan mendesak. Perempuan harus dibekali kemampuan untuk melindungi dirinya dari berbagai ancaman digital yang semakin kompleks.

Gerakan komunitas menjadi lingkar pertama yang sangat penting dalam menciptakan ruang aman. Komunitas sekolah, kampus, lingkungan kerja, dan masyarakat dapat menjadi tempat di mana penyintas merasa didukung. Kelompok pendamping, ruang aman, relawan, serta pelatihan respons cepat dapat memperkuat keberanian korban untuk bersuara dan mencari pertolongan.

Semua langkah tersebut hanya akan berhasil bila dilakukan bersama. Mewujudkan ruang aman bukan hanya tugas pemerintah atau institusi, tetapi komitmen setiap individu. Menolak candaan merendahkan, tidak menghakimi korban, dan menghindari sikap bias adalah langkah kecil namun berdampak besar.

Kekerasan berbasis gender adalah persoalan kemanusiaan. Karena itu, gerak bersama bukan hanya slogan, melainkan komitmen berkelanjutan untuk menciptakan ekosistem yang benar-benar menolak segala bentuk kekerasan. Ruang aman adalah hak setiap perempuan hak yang harus dijamin, dijaga, dan diperjuangkan bersama. (*)

*Penulis adalah Guru MAN 2 Pontianak.

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed