by

Aktualisasi Sikap Sipakatau, Sipakainge Dan Sipakalebbi

Diskursus: Budaya Dan Tradisi  Hukum Adat Bugis Dalam Karya Sastra La Galigo

Oleh: Mustafa*

Sikap adalah pernyataan evaluatif terhadap objek orang atau peristiwa yang akan ditunjukkan melalui tindakan positif atau negatif yang dibentuk oleh warisan budaya tinggi dan bernilai etis, etos dan estetis. Sikap tersebut tercermin pada tiga komponen utama diantaranya; perilaku, kesadaran dan perasaan.

Misal, komponen perilaku. Bahwa menggunjing (ghibah) itu adalah perilaku (akhlak tercela) yang dilarang dalam Islam. Maka, perilaku menggunjing adalah evaluatif (hasil akhir) yang berbentuk kognitif (pengetahuan). Dari pengetahuan itulah yang akan menentukan tingkat kesadaran seseorang. Melalui komponen kesadaran akan terhindar dari suatu obyek orang atau peristiwa yang dilarang.

Kemudian komponen perasaan. Perasaan adalah cerminan dari sikap yang timbul dari hati nurani (jiwa) seseorang, sehingga orang tersebut memiliki perasaan yang baik dan buruk. Maka, perasaan yang baik dan buruk itulah evaluatif (hasil akhir) dari perilaku tertentu pada diri seseorang.

 

Nilai-Nilai Budaya dan Tradisi Orang Bugis (Sipakatau, Sipakainge dan Sipakalebbi)

Membincangkan tentang sikap, tidak terlepas dari perilaku budaya dan tradisi orang Bugis yang memiliki prinsip dalam kehidupan sosial. Hal ini bersentuhan dengan nilai-nilai budaya yang terkandung dalam pendidikan karakter. Dalam budaya dan tradisi orang Bugis dikenal dengan 3 (S) yaitu; (1) sipakatau; (1) sipakainge; (3) sipakalebbi.

Pertama, budaya sipakatau. Sipakatau berasal dari kata bahasa Bugis yang artinya memanusiakan manusia. Dalam kumpulan hukum adat Bugis dan karya sastra La Galigo, mengandung 5 prinsif antara lain: “Upasekku makketening ri limae akketenning mammulanna, ri ada tongeng e matelunna re getteng e, maeppana, Sippakatau e, malimanna, mappesonae, ri Dewata Sauwae”.

Artinya “Saya pesankan kamu pada kelima pengangan.  Pertama, pada kata benar. Kedua, pada kejujuran. Ketiga, pada keteguhan hati. Keempat, pada saling menghargai atau saling memanusiakan. Kelima, berserah diri kepada Allah SWT, Tuhan YME.”

Budaya sipakatau pada orang Bugis memiliki hubungan dengan nilai-nilai pendidikan karakter, nilai spritual religius, toleransi, jujur, peduli sosial dan menghargai prestasi.

Adapun contoh penerapan (aktualisasi) dalam kehidupan sehari-hari yang sesuai dengan nilai-nilai pendidikan karakter yang spritual religius adalah seperti; sholat, puasa, zakat dan haji nilai akhlak misalnya, bertutur kata dengan sopan dan santun, berpakaian, menghargai karya orang lain atau teman serta tidak mengejek-ejek karena perbedaan strata, kasta, status sosial dan ekonomi.

Kedua, budaya sipakainge. Sipakainge berasal dari kata bahasa Bugis artinya saling mengingatkan. Dalam hukum adat Bugis dan karya sastra La Galigo, budaya sipakainge (saling mengingatkan) terdapat dua nilai penting yaitu. Pertama, Warani (keberanian), yaitu mengajarkan kepada manusia untuk memiliki keberanian dalam menyampaikan pendapat, menyampaikan kebenaran untuk kemajuan dan kebaikan. Kedua, Arung (kepemimpinan), yaitu  mengajarkan kepada setiap manusia yang menjadi pemimpin memiliki kerendahan hati untuk menerima segala pendapat (kritik dan saran) untuk membangun.

Budaya sipakainge memiliki hubungan dengan nilai-nilai pendidikan karakter, demokrasi, peduli lingkungan, tanggungjawab, rasa ingin tahu, kreatif dan komunikatif.

Adapun contoh penerapan (aktualisasi) budaya sipakainge dalam kehidupan sehari-hari antara lain; nasehat dan menasehati atau mengingatkan teman jika melakukan kesalahan, menghargai pendapat teman jika ada masalah dalam kelompok komunitas (organisasi) dan diselesaikan dengan jalan musyawarah dan mufakat.

Ketiga, budaya sipakalebbi. Sipakalebbi berasal dari kata bahasa Bugis artinya saling memuji, mengasihi, menyayangi dan saling membantu. Budaya sipakalebbi dalam hukum adat Bugis dan karya sastra La Galigo, lebih mengajarkan kepada manusia untuk menciptakan suasana kekeluargaan yaitu; saling tolong-menolong atau membantu kaum lemah, memberi pujian, penghargaan (reward) kepada yang memiliki prestasi atas usaha dan karyanya, serta tidak merendahkan orang lain karena status sosialnya, dan lain sebagainya.

Budaya sipakalebbi juga terdapat nilai-nilai pendidikan karakter, cinta damai, cinta tanah air, toleransi, disiplin, jujur, peduli lingkungan dan peduli sosial.

Adapun contoh penerapan (aktualisasi) budaya sipakalebbi dalam kehidupan sehari-hari diantaranya adalah sebagai bentuk atau perilaku dan perbuatan. Saling membantu menjaga nama baiknya, taat aturan yang telah tentukan dan bersama dalam melaksanakan dan menjaga regulasi misalnya; membayar pajak untuk pembangunan suatu negeri.

Penjelasan tentang 3 (tiga) macam bentuk budaya leluhur orang Bugis tersebut di atas, sebagai nilai-nilai budaya dan tradisi yang harus dilestarikan dipahami sebagai warisan Nenek Moyang yang harus dilaksanakan dan dijunjung tinggi sebagai norma-norma masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.

Budaya dan tradisi orang Bugis sebagai warisan Nenek Moyang, haruslah dilestarikan jangan sampai pudar atau hilang di telan zaman, pentingnya melestarikan nilai-nilai budaya agar terbiasa memiliki nilai-nilai karakter serta saling memuliakan, saling membesarkan. Bukan saling mengkerdilkan atau bahkan saling mengucilkan. Dengan berpegang pada budaya akan saling membahagiakan, saling mengangkat derajat dan menjaga marwah budaya orang Bugis atau saling mengentaskan. Intinya adalah sikap yang tercermin dari dorongan membangun kesejahteraan, saling berbagi satu sama. Selalu bergembira, selalu berbagi keceriaan dan kesenangan sebagai simbol kebersamaan serta menjaga persatuan dan kesatuan di negara republik Indonesia yang homogen.

Generasi orang Bugis bertanggungjawab untuk melestarikan budayanya, karena siapa lagi yang akan melestarikan kalau bukan orang-orang Bugis itu sendiri (bangga jadi orang Bugis). Dengan menjunjung tinggi nilai-nilai budaya dan tradisi khususnya orang Bugis akan mempererat persatuan dan kesatuan, ukhuwah dan toleransi serta wasathiyah. Selain itu untuk memperkaya khasanah budaya sehingga mudah diterima, dilaksanakan dan dipahami serta diamalkan oleh masyarakat juga mampu beradaptasi dengan nilai-nilai budaya, tradisi dan etika universal.

I La Galigo: Pengarang Hukum Adat Bugis Dan Sastra.

La Galigo merupakan leluhur atau Nenek Moyang suku Bugis. La Galigo pengarang hukum adat Bugis dan sastra adalah merupakan keturunan ke tujuh Nabi Sulaiman as dari Istrinya bernama Ratu Balqis. La Galigo adalah putra Saweri Gading hasil perkawinan dengan seorang putri dari negeri Cina bernama We Cudai, yang di masa kejayaannya pada tahun 730 Sebelum Masehi.

Setelah abad ke-13 Masehi, karya sastra La Galigo mulai dikenal masyarakat dunia hingga saat ini. Selain itu La Galigo dikenal sebagai pengarang hukum adat Bugis dan sastra. Naskah sastra La Galigo ini merupakan karya sastra terpanjang di dunia, lebih panjang dari epik Mahabharata, Ramayana dan Homerus (epos/epik Yunani).

Naskah sastra La Galigo terdiri dari 6.000 halaman atau 300.000 baris teks dan bertuliskan huruf Lontraq. Manuskrip La Galigo terbagi atas 12 jilid, selain itu naskah karya sastra La Galigo ini termasuk karya sastra terpanjang di dunia. Bahkan pada tahun 2011 naskah karya sastra La Galigo ditetapkan sebagai Memory of the World oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organisation (UNESCO). Ewako. Wallahu A’lam Bish-Shawab.(*)

*Penulis: Sekretaris DPD Forum Komunikasi Orang Bugis (FKOB) Kota Pontianak.

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed