by

Darah di Laut Selangor

Oleh: Rosadi Jamani

Belum kering air mati kepergian Shin Tae Yong, negeri ini kembali menangis. Seorang pekerja migran harus meregang nyawa, ia ditembak oleh petugas Malaysia. Tewas. Kopi pun terasa hambar, yok kita bahas kisah tragis orang yang ingin mencari hidup di negeri seberang.

Dini hari itu, laut Selangor merintih. Langitnya gelap, anginnya tenang, tapi perairannya bergetar. Ada yang datang. Sebuah kapal kecil, ringkih, dipenuhi lima manusia yang membawa harapan dari seberang. Tapi harapan itu segera dihentikan. Dingin, cepat, brutal.

Suara tembakan memecah sunyi. Laut menjadi saksi. Di perairan Tanjung Rhu yang bisu, peluru-peluru melesat. Mencari tubuh-tubuh lelah yang hanya ingin bertahan hidup. Kapal kecil itu, katanya, mencoba menyerang kapal patroli Agensi Penguatkuasa Maritim Malaysia (APMM). Sebuah ironi. Sebuah kapal reyot melawan lambang kekuatan negara. Sebilah parang melawan laras panjang yang siap memuntahkan kematian.

Pukul 03.00 waktu setempat, patroli APMM mendeteksi keberadaan kapal itu. Lima PMI di dalamnya, katanya, terlihat mencurigakan. Tak ada sirine peringatan. Tak ada waktu untuk bicara. Yang ada hanya kesimpulan, mereka musuh. Mereka ancaman.

“Empat kali kapal itu menabrak kapal kami,” begitu kata Kepala Polisi Selangor, Datuk Hussein Omar Khan. Empat kali. Sebuah klaim yang mengundang tanya, dengan ukuran kapal kecil itu, apakah benar bisa menabrak kapal patroli berlapis baja sebanyak itu? Atau, jangan-jangan, ini narasi untuk membangun citra heroisme?

Dua dari mereka, katanya lagi, melompat dengan parang di tangan. Parang, senjata tradisional yang sekarang disebut sebagai simbol kriminal. Saat parang itu diangkat, peluru-peluru melesat. Sebuah keputusan sepihak yang tak memberi kesempatan siapa pun untuk membela diri.

Enam jam setelah peluru-peluru dilepaskan, kapal itu ditemukan karam di Pantai Banting. Dua tubuh ditemukan di dalamnya. Satu tak lagi bernapas. Satunya lagi berjuang melawan ajal. Tiga lainnya, dengan tubuh penuh luka, ditemukan di tempat berbeda. Luka yang bukan hanya fisik, tapi juga luka yang menggores dalam, luka karena dianggap musuh di negeri yang mereka tuju demi sesuap nasi.

Ambulans pun datang. Terlambat, tentu saja. Seperti keadilan yang selalu datang terlambat bagi pekerja migran. Tubuh yang tak lagi bernyawa dibawa ke kamar mayat, yang kritis ke ruang gawat darurat, sementara tiga lainnya dirawat tanpa nama, tanpa suara, di rumah sakit yang jauh dari kampung halaman mereka.

Laut memang tak berpihak. Ia hanya menyimpan cerita. Di laut Tanjung Rhu, cerita itu berakhir dengan darah yang tumpah, tubuh yang rubuh, dan harapan yang musnah. Tak ada pahlawan dalam tragedi ini. Yang ada hanyalah manusia yang saling menuding.

APMM berdiri di podium, berkata lantang bahwa mereka hanya melindungi diri. Mereka yang datang dengan parang dianggap pembunuh potensial, bukan korban keadaan. Media Malaysia, tanpa jeda, memuji keberanian aparat. “Mereka diserang, dan mereka membalas,” begitu narasinya.

Tapi bagaimana dengan versi lima orang di kapal kecil itu? Sayangnya, hanya laut yang tahu. Sebab satu sudah mati, satu hampir mati, dan tiga lainnya tenggelam dalam trauma yang mungkin tak akan pernah bisa mereka ceritakan.

Inilah takdir para Pekerja Migran Indonesia. Mereka meninggalkan tanah kelahiran, menggadaikan jiwa demi keluarga yang menunggu di rumah. Tapi di negeri orang, mereka bukan pahlawan keluarga. Mereka hanya angka. Hanya nama yang disebut dalam laporan.

Mereka melawan gelombang, melawan lapar, melawan dingin. Namun akhirnya mereka kalah melawan sesuatu yang lebih besar, kekuasaan yang bersenjatakan logika tanpa belas kasihan.

Di laut Tanjung Rhu, pagi itu, parang-parang menjadi senjata terakhir untuk bertahan. Tapi siapa yang peduli? Mereka mati, luka, atau hidup, tetap saja mereka akan disebut ancaman.

Kini, laut kembali tenang. Tapi bukan karena damai. Melainkan karena nyawa yang tenggelam di dalamnya. Peluru-peluru telah berbicara, lebih lantang dari jerit para korban.

Di seberang, keluarga-keluarga di Indonesia menunggu kabar. Tapi kabar itu tak datang dalam bentuk suara. Ia datang dalam bentuk peti. Sebuah pengingat bahwa di dunia ini, keadilan hanya mewah bagi mereka yang memiliki kuasa. Sementara sisanya? Hanya cerita yang perlahan dilupakan, seperti darah yang hilang ditelan ombak. (*)

*Rosadi Jamani: Ketua Satupena Kalbar

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed