PONTIANAK, Media Kalbar
Tuntutan berat Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap tiga terdakwa kasus keringanan retribusi HPL Pasir Panjang Indah, Singkawang, memicu gelombang kritik tajam dari publik dan kalangan akademisi.
Pengamat hukum dan kebijakan publik Kalimantan Barat, Dr. Herman Hofi Munawar, menilai tuntutan 7 tahun 6 bulan penjara bagi masing-masing terdakwa sebagai langkah hukum yang “mengagetkan”, tidak proporsional, dan berpotensi merusak tatanan birokrasi pemerintahan.
Menurut Dr. Herman, tuntutan ini setara dengan hukuman kejahatan korupsi kelas berat yang melibatkan penggelapan dana kas negara secara langsung, padahal substansi perkara sama sekali bukan tentang penyelewengan dana, melainkan dugaan kekeliruan administrasi dalam pemberian keringanan retribusi.
“Kerugian negara Rp5 miliar lebih itu bukan akibat penggelapan atau pencucian uang. Itu kerugian dalam bentuk kehilangan potensi pendapatan daerah akibat pemberian keringanan retribusi dan penghapusan sanksi bunga,” ujar Herman.
“Artinya, perkara ini berada pada ranah kesalahan kebijakan atau dugaan pelanggaran prosedur administrasi, bukan niat jahat memperkaya diri.”
Dr. Herman menilai JPU telah mengabaikan aspek mens rea (niat jahat) dan konteks administratif yang mendasari proses penerbitan keringanan retribusi kepada perusahaan pengelola (PT PWG). Permohonan keringanan itu, kata dia, diajukan secara resmi, dibahas melalui telaahan staf, diproses sesuai hierarki administrasi, lalu disampaikan kepada Sekda dan diteruskan kepada Wali Kota.
“Prosesnya resmi, transparan, dan sesuai struktur birokrasi. Tidak ada tindakan sembunyi-sembunyi. Ini adalah rangkaian pelaksanaan tugas jabatan,” tegasnya.
Tuntutan 7,6 tahun, menurutnya, adalah bentuk “brutalisasi proses hukum” karena menghukum kesalahan kebijakan seperti kejahatan kriminal.
“Ini bukan hanya tidak proporsional, tapi juga membahayakan iklim birokrasi secara luas. Pejabat akan takut mengambil keputusan karena risiko kriminalisasi yang ekstrem. Pelayanan publik bisa lumpuh,” katanya.
Poin paling krusial dari kritik Herman menyasar pada hilangnya aktor utama dalam rangkaian kebijakan: Wali Kota Singkawang saat itu, Tjhai Chui Mie.
Produk hukum final, yaitu SKRD Nomor 21.07.0001, ditandatangani oleh Wali Kota sebagai pemegang diskresi tertinggi. Namun dalam tuntutan JPU, Wali Kota justru tidak disentuh.
“Bagaimana mungkin pelaksana teknis dituntut dengan hukuman setara pelaku utama, sementara pejabat yang menerbitkan keputusan final justru tidak dimintai pertanggungjawaban? Ini keliru secara mendasar,” ujar Herman.
Menurutnya, ketiga terdakwa Sumastro, Widatoto, dan Parlinggoman hanyalah pelaksana teknis administratif. Mereka menjalankan telaahan, memproses permohonan, dan melaksanakan disposisi sesuai perintah atasan.
“Hierarki kewenangan itu jelas. Namun JPU menempatkan mereka seolah pengambil kebijakan tertinggi. Ini pemutarbalikan logika birokrasi,” tambahnya.
Tuntutan 7,6 tahun itu, menurut Herman, bukan hanya tidak adil tapi juga destruktif. “Tuntutan ini menghancurkan kehidupan para terdakwa dan keluarga mereka. Mereka dihukum seperti koruptor besar, padahal konteks perkaranya adalah kebijakan publik yang keliru, bukan kejahatan terencana,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa keadilan seharusnya bersifat korektif dan proporsional, bukan menghukum tanpa mempertimbangkan peran, niat, dan batas kewenangan.
Saat ini publik menunggu sikap majelis hakim. Apakah hakim akan mengoreksi ketidakseimbangan tuntutan JPU, atau justru mengikuti tuntutan yang dinilai tidak rasional tersebut.
“Hakim menjadi benteng terakhir. Pertanyaannya: apakah hakim akan berdiri di sisi keadilan atau pada ketidakadilan yang telanjang ini?” kata Dr. Herman.
Dr. Herman menilai perlu adanya eksaminasi publik terhadap tuntutan JPU. Ia menyebut tuntutan tersebut telah melanggar prinsip due process, proporsionalitas, serta asas kewenangan dalam administrasi pemerintahan.
“Tuntutan ini mengabaikan hierarki kewenangan, menempatkan pelaksana administratif sebagai penanggung jawab utama, dan membiarkan pemegang diskresi final tidak tersentuh. Publik patut bertanya: ada apa dengan penegakan hukum kita?” ujarnya.
Dr. Herman menegaskan bahwa kasus ini bukan hanya tentang tiga terdakwa, tetapi tentang masa depan tata kelola pemerintahan dan kepastian hukum.
“Jika kesalahan kebijakan dikenai hukuman setara korupsi berat, maka siapa pun pejabat di negeri ini bisa dikriminalisasi kapan saja. Ini preseden berbahaya.” tutupnya. (*/Amad)











Comment