by

Menjaga Warisan, Menumbuhkan Rasa: Suara Hati Mahasiswa Sambas di Tengah Riuh Zaman

Sambas, Media Kalbar – Di tengah hiruk-pikuk kemajuan teknologi dan derasnya arus globalisasi, masih ada suara-suara jernih yang lahir dari kesadaran akan pentingnya akar budaya. Salah satunya datang dari Arga Zahara, mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sultan Muhammad Syafiuddin Sambas (UNISSAS), yang menyuarakan pandangannya tentang pentingnya melestarikan warisan budaya lokal, khususnya dalam momentum Festival Berindu Keris yang akan digelar di Istana Alwatzikhoebillah Sambas.

Arga memandang festival ini bukan sekadar hiburan atau pelengkap hari jadi Kota Sambas ke-394, melainkan ruang sakral tempat nilai-nilai luhur diwariskan, dihidupkan, dan diperkenalkan kembali pada generasi muda.

“Kadang kita terlalu sibuk mencari hal-hal besar di luar diri kita, padahal yang paling kuat justru ada di akar: identitas,” tulis Arga dalam catatan reflektifnya.

Keris, bagi sebagian orang mungkin hanya sebilah besi berlekuk, namun di mata Arga dan banyak masyarakat Sambas, keris adalah simbol peradaban, lambang spiritualitas, serta narasi diam tentang hubungan manusia dengan alam dan nilai luhur yang dijunjung tinggi.

Festival ini, menurut Arga, adalah contoh konkret bagaimana budaya tidak harus bersaing dengan kemajuan zaman, tapi bisa berjalan beriringan, menjadi fondasi bagi generasi muda agar tidak mudah goyah dalam pusaran perubahan dunia.

Sebagai mahasiswa, Arga tidak menempatkan dirinya di tengah arena festival sebagai peserta lomba atau pengisi acara. Tapi ia hadir sebagai pengamat yang jujur, sebagai anak muda yang peduli, dan sebagai suara kecil yang mengajak generasi muda lain untuk lebih dari sekadar menonton.

“Saya senang tahu bahwa Sambas masih punya ruang untuk itu. Dan saya berharap teman-teman muda lainnya juga melihat ini bukan sebagai tontonan semata, melainkan cermin untuk mengenali siapa kita,” lanjut Arga.

Ia juga mengingatkan bahwa pelestarian budaya tidak boleh berhenti pada perayaan seremonial semata. Diperlukan keberlanjutan, pengawalan, dan integrasi nilai-nilai tersebut ke dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Sambas.

Melalui catatannya, Arga seolah menggugah kita semua: bahwa menjaga budaya adalah pekerjaan bersama. Ia bukan milik seniman, tokoh adat, atau pemerintah saja. Ia juga milik mahasiswa, pelajar, petani, pedagang, dan siapa pun yang merasa dirinya bagian dari tanah ini.

“Merayakan masa lalu, menanamkan nilai untuk masa depan.” Itulah kalimat penutup Arga, yang tak hanya puitis tapi juga bernas. Sebuah pesan ringan, namun dalam maknanya, dari seorang mahasiswa yang tak ingin budaya hanya tinggal cerita.

Dan mungkin, di tengah dunia yang terus berubah, suara seperti inilah yang kita butuhkan lebih banyak: jernih, jujur, dan bersumber dari rasa cinta pada tanah kelahiran. (Rai)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed